Judul : The Nine Lessons
Penulis : Kevin Alan Milne
Penerbit : Qanita
Tahun cetakan : 2011
Jenis : Paperback
ISBN : 9786028579841
Rating : 3/5
Buku ini salah satu buku yang saya dapat saat menyambang Gramedia Depok basemen--dengan diskon cuci gudang abadinya itu. Saya lumayan terhibur dengan tulisan Kevin Alan Milne sebelumnya, Sweet Misfortune--walau tetap dengan gerundelan tersendiri--karena itu saya memberikan satu kesempatan lagi untuk penulis yang satu lagi. Apalagi buku yang ini berkisah tentang hubungan ayah dan anak. My weakness. Apalagi cuma seharga 10k. #eh
Nine Months
Dokter hewan Augusta Witte--yang lebih suka dipanggil August dan bukannya Augusta--telah memiliki segalanya di dunia ini: pekerjaan bagus, rumah yang hangat, dan istri yang membuatnya jatuh cinta setengah mati. Semua yang seluruh laki-laki di dunia ini inginkan, minus kehadiran anak. Sialnya, hal itulah yang kerap menjadi masalah dalam rumah tangganya--kehadiran sang anak. Istrinya, Erin, sangat ingin mempunyai anak, sementara Augusta sangat tidak menginginkannya. Meskipun ia tetap menikahi Augusta terlepas dari rasa anti pria tersebut untuk memiliki seorang--atau beberapa--anak, Erin tetap berharap bahwa suatu saat nanti hati beku suaminya akan perlahan mencair. Mereka selalu berdebat mengenai hal itu, bahkan saat berdoa.
Dan siapa yang menang dalam debat doa itu? Sayangnya bagi Augusta, istrinya lah yang menang. Suatu hari Erin tiba-tiba merasakan mual yang tidak biasa dan mendapati dirinya hamil. Augusta yang tidak bisa menerima kenyataan, bertengkar hebat dengan istrinya dan pergi dari rumah untuk melabrak ayahnya, London Witte. Menurutnya, semua ini salah ayahnya. Karena London tidak pernah menjadi ayah yang baik baginya, maka ia terus dihinggapi ketakutan untuk menjadi seorang ayah.
Setelah kematian ibu Augusta akibat penyakit kanker tenggorokan, London yang seorang pelatih golf mendidik putranya untuk mahir bermain golf karena ingin memenuhi janjinya pada mendiang istrinya, meskipun putranya sama sekali tak berbakat dalam bermain golf. Didikan yang keras ini membuat Augusta membenci ayahnya dan akhirnya kabur dari rumah setelah ia lulus SMA. Ia tidak pernah menemui ayahnya lagi selain sehari dalam setahun di mana Erin memaksanya untuk bertemu ayahnya. Tapi begitu kini dia kembali dan bersiap menumpahkan segala kesalahan pada London, ayahnya membuat pertukaran dengannya: sembilan pelajaran golf tiap bulan yang akan ditukar dengan kenangan tentang ibunya.
Nine Game
Kelebihan Kevin Alan Milne adalah pemilihan tema ceritanya yang tidak biasa. Jika dalam Sweet Misfortune topiknya adalah tentang kue ketidakberuntungan, maka dalam Nine Lessons ini topik utamanya berada di seputaran permainan golf, dengan quote utama dari London, "Golf adalah hidup." Di setiap akhir permainan London akan memberikan falsafah permainan golf kepada putranya, yang menurutnya dapat diterapkan dalam kehidupan Augusta yang hendak menjadi seorang ayah.
Beberapa falsafah golf-nya memang menarik, walau seperti kata Augusta, semua hal di dunia ini bisa menimbulkan falsafah seperti itu, alias kesembilan falsafah golf dalam buku ini semuanya adalah hal umum yang bisa dipetik tidak "secara khusus" dari golf semata. Sayangnya, sebagian besar masalah dalam permainan golf London-Augusta seolah menjadi suatu deus ex machina bagi munculnya falsafah-falsafah tersebut. Menurut saya hal inilah yang menjadi kelemahan utama dalam Nine Lessons. Kesalahan dan masalah-masalah dalam permainan golf mereka seolah begitu kebetulan hingga membuat pembaca berpikir kalau seandainya saja kesalahan atau masalah dalam permainan itu tidak terjadi, mungkin falsafah yang "kebetulan" mirip dengan masalah kehidupan yang sedang melanda Augusta tidak akan ada.
Untuk karakternya, saya justru suka semua karakternya kecuali tokoh utama. Augusta itu terlalu judging untuk selera saya. Kadang sarkasme dan kebenciannya terasa menyebalkan dan kekanakan. Tapi yah, kenyataannya memang masih banyak orang dewasa yang bersikap seperti anak-anak, jadi Augusta saya maafkan, walau tetap tidak saya sukai. hoho. Karakter favorit saya? London. Entah ya, saya kok punya soft spot sama bapak-bapak yang dengan segala kesalahannya berusaha menjadi lebih baik untuk putranya. Perubahan karakter London dari tipe ayah yang keras menjadi kakek yang mellow pun entah kenapa lebih halus dibanding perkembangan karakter Augusta--yang sepertinya tidak terlalu banyak berubah.
Secara plot, Nine Lessons mempunyai eksekusi plot yang lebih rapi dan lebih tertata dibandingkan dengan Sweet Misfortune. Aliran ceritanya enak diikuti, dengan separasi yang jelas antara cerita masa lalu dan masa kini, tidak seperti Sweet Misfortune yang sering menyelipkan cerita masa lalu di tengah-tengah dialog hingga dialog menjadi terputus lama.
Nine Lessons
Secara keseluruhan, Nine Lessons adalah buku yang menarik untuk dibaca, terutama bagi yang menggemari kisah mengenai keluarga dan hubungan ayah-anak. Plotnya menarik dan meskipun falsafah golf-nya menurut saya lebih mirip "How to Deal With Your Pregnant Wife 101", tapi secara keseluruhan kisah dalam buku ini patut untuk dibaca hingga selesai. Bahkan di akhir-akhir, ketika London menangis di depan Augusta, saya ikut trenyuh. Because daddies always love their kids in a cute way, don't they?
Nine Months
Dokter hewan Augusta Witte--yang lebih suka dipanggil August dan bukannya Augusta--telah memiliki segalanya di dunia ini: pekerjaan bagus, rumah yang hangat, dan istri yang membuatnya jatuh cinta setengah mati. Semua yang seluruh laki-laki di dunia ini inginkan, minus kehadiran anak. Sialnya, hal itulah yang kerap menjadi masalah dalam rumah tangganya--kehadiran sang anak. Istrinya, Erin, sangat ingin mempunyai anak, sementara Augusta sangat tidak menginginkannya. Meskipun ia tetap menikahi Augusta terlepas dari rasa anti pria tersebut untuk memiliki seorang--atau beberapa--anak, Erin tetap berharap bahwa suatu saat nanti hati beku suaminya akan perlahan mencair. Mereka selalu berdebat mengenai hal itu, bahkan saat berdoa.
"Ya, Tuhan... mohon lunakkan hati suamiku... aku sangat menginginkan anak, aku sudah lelah menanti... Namun jika hatinya tidak melunak juga, aku mensyukuri ketidaksempurnaan metode KB ciptaan manusia."
"Ya, Tuhan, aku tahu Kau juga telah lelah mendengar doa istriku seperti halnya aku, jadi kumohon... hentikanlah doanya itu!"
Dan siapa yang menang dalam debat doa itu? Sayangnya bagi Augusta, istrinya lah yang menang. Suatu hari Erin tiba-tiba merasakan mual yang tidak biasa dan mendapati dirinya hamil. Augusta yang tidak bisa menerima kenyataan, bertengkar hebat dengan istrinya dan pergi dari rumah untuk melabrak ayahnya, London Witte. Menurutnya, semua ini salah ayahnya. Karena London tidak pernah menjadi ayah yang baik baginya, maka ia terus dihinggapi ketakutan untuk menjadi seorang ayah.
Setelah kematian ibu Augusta akibat penyakit kanker tenggorokan, London yang seorang pelatih golf mendidik putranya untuk mahir bermain golf karena ingin memenuhi janjinya pada mendiang istrinya, meskipun putranya sama sekali tak berbakat dalam bermain golf. Didikan yang keras ini membuat Augusta membenci ayahnya dan akhirnya kabur dari rumah setelah ia lulus SMA. Ia tidak pernah menemui ayahnya lagi selain sehari dalam setahun di mana Erin memaksanya untuk bertemu ayahnya. Tapi begitu kini dia kembali dan bersiap menumpahkan segala kesalahan pada London, ayahnya membuat pertukaran dengannya: sembilan pelajaran golf tiap bulan yang akan ditukar dengan kenangan tentang ibunya.
Nine Game
Kelebihan Kevin Alan Milne adalah pemilihan tema ceritanya yang tidak biasa. Jika dalam Sweet Misfortune topiknya adalah tentang kue ketidakberuntungan, maka dalam Nine Lessons ini topik utamanya berada di seputaran permainan golf, dengan quote utama dari London, "Golf adalah hidup." Di setiap akhir permainan London akan memberikan falsafah permainan golf kepada putranya, yang menurutnya dapat diterapkan dalam kehidupan Augusta yang hendak menjadi seorang ayah.
Beberapa falsafah golf-nya memang menarik, walau seperti kata Augusta, semua hal di dunia ini bisa menimbulkan falsafah seperti itu, alias kesembilan falsafah golf dalam buku ini semuanya adalah hal umum yang bisa dipetik tidak "secara khusus" dari golf semata. Sayangnya, sebagian besar masalah dalam permainan golf London-Augusta seolah menjadi suatu deus ex machina bagi munculnya falsafah-falsafah tersebut. Menurut saya hal inilah yang menjadi kelemahan utama dalam Nine Lessons. Kesalahan dan masalah-masalah dalam permainan golf mereka seolah begitu kebetulan hingga membuat pembaca berpikir kalau seandainya saja kesalahan atau masalah dalam permainan itu tidak terjadi, mungkin falsafah yang "kebetulan" mirip dengan masalah kehidupan yang sedang melanda Augusta tidak akan ada.
Untuk karakternya, saya justru suka semua karakternya kecuali tokoh utama. Augusta itu terlalu judging untuk selera saya. Kadang sarkasme dan kebenciannya terasa menyebalkan dan kekanakan. Tapi yah, kenyataannya memang masih banyak orang dewasa yang bersikap seperti anak-anak, jadi Augusta saya maafkan, walau tetap tidak saya sukai. hoho. Karakter favorit saya? London. Entah ya, saya kok punya soft spot sama bapak-bapak yang dengan segala kesalahannya berusaha menjadi lebih baik untuk putranya. Perubahan karakter London dari tipe ayah yang keras menjadi kakek yang mellow pun entah kenapa lebih halus dibanding perkembangan karakter Augusta--yang sepertinya tidak terlalu banyak berubah.
Secara plot, Nine Lessons mempunyai eksekusi plot yang lebih rapi dan lebih tertata dibandingkan dengan Sweet Misfortune. Aliran ceritanya enak diikuti, dengan separasi yang jelas antara cerita masa lalu dan masa kini, tidak seperti Sweet Misfortune yang sering menyelipkan cerita masa lalu di tengah-tengah dialog hingga dialog menjadi terputus lama.
Nine Lessons
Secara keseluruhan, Nine Lessons adalah buku yang menarik untuk dibaca, terutama bagi yang menggemari kisah mengenai keluarga dan hubungan ayah-anak. Plotnya menarik dan meskipun falsafah golf-nya menurut saya lebih mirip "How to Deal With Your Pregnant Wife 101", tapi secara keseluruhan kisah dalam buku ini patut untuk dibaca hingga selesai. Bahkan di akhir-akhir, ketika London menangis di depan Augusta, saya ikut trenyuh. Because daddies always love their kids in a cute way, don't they?
Comments
Post a Comment