Judul : Burung-Burung Manyar
Penulis : Y.B. Mangunwijaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun cetakan : 2014
Jenis : Paperback
ISBN : 9789797098285
Rating : 4/5
Burung-Burung Manyar adalah salah satu buku yang saya incar sejak saya memutuskan untuk membacai karya sastra Indonesia beberapa tahun lalu, sejak diberi tahu oleh seorang teman. Sempat jadi buku yang termasuk susah dicari, roman klasik dari Romo Mangun ini akhirnya dicetak ulang oleh Penerbit Kompas beberapa bulan lalu.
Anak Harimau dan Burung Kul
Awalnya, Larasati atau Atik tidak menyukai sosok Teto yang dianggapnya kejam karena suka mengetapel burung-burung. Atik adalah putri tunggal seorang ahli biologi yang lembut dan Teto adalah putra seorang komandan KNIL yang tegas. Pertemuan mereka waktu kanak-kanak diakhiri dengan ketidaksukaan. Namun ketika Jepang mengambil alih Hindia, dan ayah Teto yang mendapat tugas memata-matai komandan Jepang tertangkap, rumah keluarga Atik menjadi tempat perlindungan bagi Teto dan ibunya. Teto dan Atik pun perlahan menjadi akrab layaknya kakak-adik.
Saat ibu Teto akhirnya ikut menghilang seperti ayahnya, keluarga Ananta, keluarga Atik, merawat Teto seperti putranya sendiri. Namun Teto sudah terlanjur terbakar dendamnya pada Jepang--juga pada gerilyawan kemerdekaan yang dianggapnya hanya menjilat kaki pasukan Jepang demi janji kemerdekaan. Dia pergi dari rumah keluarga Ananta dan bergabung dengan KNIL, seperti ayahnya dulu, di bawah pimpinan Mayoor Verbruggen, laki-laki yang pernah--dan masih--mencintai ibu Teto.
Di lain pihak, keluarga Ananta sejak awal berada di pihak yang membela kemerdekaan, pihak yang dibenci Teto. Ayah Atik bergabung dengan gerakan bawah tanah sementara Atik menjadi sekretaris Syahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama. Hal ini otomatis menjadikan Teto dan Atik di kubu yang berlawan-lawanan, walau tak bisa dipungkiri, keduanya kini saling mencintai. Keduanya sama-sama mendamba untuk membawa kekasihnya ke pihak 'yang benar'. Namun akhirnya, sejarah yang menentukan akhir kisah cinta mereka.
Ayam-ayam dalam Kandang
Waktu tahu bahwa yang menulis cerita ini adalah seorang Romo, saya sudah mempersiapkan diri kalau-kalau isinya akan banyak berkisar di seputar ajaran agama atau semacamnya--karena bukankah biasanya itu yang dilakukan pemuka agama yang menulis buku? Eh ternyata, saya kaget waktu baca bukunya. Tidak ada--atau mungkin nyaris, karena siapa tahu ada yang terlewat oleh saya--pembicaraan tentang ajaran agama apa pun. Yang tertulis di sini murni tentang manusia. Saya sangat salut pada kepiawaian Romo Mangun menceritakan karakter-karakternya--Teto yang keras kepala dan sombong namun jujur, Atik yang lembut dan cerdas, Jana yang tenang dan nrimo. Jujur saja, saya sampai sempat sebal bukan main dengan Teto karena sikapnya yang seolah mencibir bangsanya sendiri. Tapi lalu ada kalimat yang mancleb di saya:
"Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku."
Ada yang pernah mengatakan--saya lupa siapa--bahwa Romo Mangun ini adalah sisi lain dari Pram, dan akhirnya saya tahu mengapa. Dalam bukunya, Pram selalu menggembar-gemborkan perjuangan dan pergerakan atas nama rakyat. Sementara Romo Mangun dalam novelnya memperlihatkan sisi lain dari pergerakan rakyat dengan tesis: Benarkan perjuangan kemerdekaan ini demi rakyat? Karena meskipun katanya demi rakyat, yang terjadi di lapangan adalah orang miskin toh tetap akan jadi orang miskin. Pejuang-pejuang yang konon membela kepentingan rakyat justru memeras rakyat, dan sesungguhnya banyak orang yang, jika boleh memilih, lebih menyukai dikuasai Belanda dengan aman-tentram daripada harus melalui masa pergolakan.
Sayangnya, secara packaging, buku terbitan ulang dari Kompas ini ada kekurangan yang membuat proses membaca kurang nikmat: terlalu banyak kesalahan pengetikan. Dan kesalahan pengetikannya rata-rata (sepertinya) akibat word processor yang digunakan masih menggunakan autocorrect dengan default bahasa Inggris. Kesalahan-kesalahannya standar seperti "dank arena" untuk kata "dan karena", "the" untuk "teh", dan "bias" untuk "bisa", dan lainnya. Sebenarnya bisa dimaklumi--apalagi bagi yang terbiasa menulis di Word mungkin sudah hapal jenis kesalahan seperti ini--tapi karena ini adalah buku tercetak untuk publik, dan saltik-nya cukup banyak, malah jadi terkesan tidak melalui meja editing sebelum dicetak, dan hasilnya bisa saja mengurangi kenikmatan membaca.
Burung-burung Manyar
Dalam buku ini, Romo Mangun mengajak kita untuk melihat dua sisi manusia yang berlawanan: mereka yang menginginkan dan memperjuangkan perubahan, serta mereka yang nyaman pada sistem yang telah ada dan berusaha mempertahankannya. Pergulatan dua sisi manusia ini terjadi di mana-mana, antara mereka yang revolusioner dan yang mendambakan stabilitas, dan masih bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini bukan atas dasar benar-salah. Tidak selamanya yang revolusioner benar dan yang adem-ayem berarti salah, ataupun sebaliknya. Melalui Teto dan Atik, kita diajak untuk melihat bahwa pada akhirnya, masalah perubahan atau stabilitas suatu negara ditentukan bukan karena suatu ideologi lebih tepat daripada yang lainnya, tapi karena adanya pergerakan arus politik, kebutuhan zaman, dan strategi diplomasi pemerintah.
Ah, dasar manusia!
Di lain pihak, keluarga Ananta sejak awal berada di pihak yang membela kemerdekaan, pihak yang dibenci Teto. Ayah Atik bergabung dengan gerakan bawah tanah sementara Atik menjadi sekretaris Syahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama. Hal ini otomatis menjadikan Teto dan Atik di kubu yang berlawan-lawanan, walau tak bisa dipungkiri, keduanya kini saling mencintai. Keduanya sama-sama mendamba untuk membawa kekasihnya ke pihak 'yang benar'. Namun akhirnya, sejarah yang menentukan akhir kisah cinta mereka.
Ayam-ayam dalam Kandang
Waktu tahu bahwa yang menulis cerita ini adalah seorang Romo, saya sudah mempersiapkan diri kalau-kalau isinya akan banyak berkisar di seputar ajaran agama atau semacamnya--karena bukankah biasanya itu yang dilakukan pemuka agama yang menulis buku? Eh ternyata, saya kaget waktu baca bukunya. Tidak ada--atau mungkin nyaris, karena siapa tahu ada yang terlewat oleh saya--pembicaraan tentang ajaran agama apa pun. Yang tertulis di sini murni tentang manusia. Saya sangat salut pada kepiawaian Romo Mangun menceritakan karakter-karakternya--Teto yang keras kepala dan sombong namun jujur, Atik yang lembut dan cerdas, Jana yang tenang dan nrimo. Jujur saja, saya sampai sempat sebal bukan main dengan Teto karena sikapnya yang seolah mencibir bangsanya sendiri. Tapi lalu ada kalimat yang mancleb di saya:
"Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku."
Ada yang pernah mengatakan--saya lupa siapa--bahwa Romo Mangun ini adalah sisi lain dari Pram, dan akhirnya saya tahu mengapa. Dalam bukunya, Pram selalu menggembar-gemborkan perjuangan dan pergerakan atas nama rakyat. Sementara Romo Mangun dalam novelnya memperlihatkan sisi lain dari pergerakan rakyat dengan tesis: Benarkan perjuangan kemerdekaan ini demi rakyat? Karena meskipun katanya demi rakyat, yang terjadi di lapangan adalah orang miskin toh tetap akan jadi orang miskin. Pejuang-pejuang yang konon membela kepentingan rakyat justru memeras rakyat, dan sesungguhnya banyak orang yang, jika boleh memilih, lebih menyukai dikuasai Belanda dengan aman-tentram daripada harus melalui masa pergolakan.
Sayangnya, secara packaging, buku terbitan ulang dari Kompas ini ada kekurangan yang membuat proses membaca kurang nikmat: terlalu banyak kesalahan pengetikan. Dan kesalahan pengetikannya rata-rata (sepertinya) akibat word processor yang digunakan masih menggunakan autocorrect dengan default bahasa Inggris. Kesalahan-kesalahannya standar seperti "dank arena" untuk kata "dan karena", "the" untuk "teh", dan "bias" untuk "bisa", dan lainnya. Sebenarnya bisa dimaklumi--apalagi bagi yang terbiasa menulis di Word mungkin sudah hapal jenis kesalahan seperti ini--tapi karena ini adalah buku tercetak untuk publik, dan saltik-nya cukup banyak, malah jadi terkesan tidak melalui meja editing sebelum dicetak, dan hasilnya bisa saja mengurangi kenikmatan membaca.
Burung-burung Manyar
Dalam buku ini, Romo Mangun mengajak kita untuk melihat dua sisi manusia yang berlawanan: mereka yang menginginkan dan memperjuangkan perubahan, serta mereka yang nyaman pada sistem yang telah ada dan berusaha mempertahankannya. Pergulatan dua sisi manusia ini terjadi di mana-mana, antara mereka yang revolusioner dan yang mendambakan stabilitas, dan masih bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini bukan atas dasar benar-salah. Tidak selamanya yang revolusioner benar dan yang adem-ayem berarti salah, ataupun sebaliknya. Melalui Teto dan Atik, kita diajak untuk melihat bahwa pada akhirnya, masalah perubahan atau stabilitas suatu negara ditentukan bukan karena suatu ideologi lebih tepat daripada yang lainnya, tapi karena adanya pergerakan arus politik, kebutuhan zaman, dan strategi diplomasi pemerintah.
Ah, dasar manusia!
Comments
Post a Comment