Halo halo! Kali ini Dunia Dalam Kertas hadir dalam rangkaian Blogtour 2 Sisi Cinta! Meneruskan estafet blogtour dari blog Live to Read, Read to Live, sekarang saya pun akan membahas mengenai buku ini dan memberikan giveaway di akhir post! Let's check it out!
Tentang apa sih buku 2 Sisi Cinta ini?
Novel 2 Sisi Cinta ini adalah novel karangan kolaborasi dua penulis, Rhesy Rangga dan Stanley Meulen. Buku ini akan diterbitkan oleh penerbit Loveable sebentar lagi. Psst yang PO buku ini konon akan dapat hadiah liontin couple dan voucher Brodo, lho!
2 Sisi Cinta mengisahkan tentang Vanya, gadis muslim yang berkuliah di Bandung karena ingin mencicip pengalaman baru di luar kota kelahirannya, Yogya. Suatu hari, Lina, sahabatnya, meminta bantuan Vanya untuk mencomblangkannya kembali dengan mantan pacar Lina yang berbeda agama, Rangga. Awalnya Vanya ragu, tapi Lina terus mendesak hingga akhirnya Vanya menurutinya. Dia pun berkenalan dengan Rangga dan mengajaknya bertemu untuk menjadi mediator di antara kedua orang itu.
Tetapi Rangga ternyata tidak lagi cinta dengan Lina dan justru mulai tertarik dengan Vanya. Vanya pun tidak bisa memungkiri bahwa ada getar-getar istimewa setiap kali bersama dengan Rangga. Nah lho! Vanya jelas kelabakan karena Rangga adalah mantan yang masih dicintai sahabatnya, dan yang paling penting, mereka berbeda keyakinan!
Cinta dalam perbedaan
Berbeda dengan Vanya yang selalu ragu untuk menjalin hubungan dengan Rangga yang berbeda agama, Rangga malah sebaliknya. Dia seolah tidak pernah memikirkan masalah perbedaan agama mereka dan merasa bahwa selama mereka saling cinta, semuanya bisa beres. Tapi saat Vanya mengajukan syarat Rangga harus mau pindah keyakinan dari Kristen ke Islam, Rangga menolak.
"Bukan. Aku bukannya marah atau nggak suka. Tapi coba pikirin ini baik-baik, kalo sekarang aja aku bisa khianatin Tuhan-ku, apa jaminannya aku juga tidak bisa melakukan hal yang sama ke kamu?" (hal. 84)
Entah kenapa laki-laki itu sepertinya nggak banyak ambil pusing masalah perbedaan, ya. haha. Bahkan untuk hal yang di Indonesia bisa jadi masalah serius macam ini.
Saya sendiri lahir dari dua orangtua yang berbeda keyakinan, seperti Rangga dan Vanya. Waktu itu pernikahan beda agama masih diizinkan di Indonesia dan orangtua saya menikah di Catatan Sipil. Menurut Mama saya, sih, Papa waktu itu juga bersikap seperti Rangga. Nggak terlalu ambil pusing soal perbedaan keyakinan mereka, tapi juga nggak mau pindah agama. Orangtua saya tetap berbeda agama sampai saya berusia 6 tahun. Saya sendiri lupa (dan nggak pernah berani tanya) kenapa Papa saya akhirnya, setelah sekian tahun menolak berpindah keyakinan, akhirnya mengikuti agama Mama--dan saya.
Saya sendiri sejak kecil sudah diputuskan untuk ikut agama Mama, tapi Papa masih sering membawa saya saat beliau beribadah. Sampai akhir saya tetap ada di agama Mama, sih, tapi saya rasa kalaupun saya dulu memutuskan untuk berpindah ke agama Papa, mungkin orangtua saya tidak akan terlalu berkeberatan.
Tentu ada contoh-contoh pasangan beda keyakinan yang akur sampai lama. Dulu ada Jamal Mirdad dan Lydia Kandou yang merupakan pasangan beda keyakinan yang menjadi panutan. Sayangnya, pasangan ini juga bercerai tahun 2013 silam, meski menampik perceraian tersebut terjadi karena adanya perbedaan keyakinan dan lebih banyak karena faktor personal.
Nah, setelah menyimak penjelasan di atas, sekarang saatnyaaaaa
GIVEAWAY!!
Penerbit Loveable menyediakan 2 (DUA) novel 2 Sisi Cinta dan goodie bag untuk dua orang yang beruntung! Yuk simak caranya.
1. Giveaway ini berlangsung dari tanggal 11 Agustus hingga 13 Agustus 2015. Tiga hari saja! Giveaway akan ditutup pada tanggal 13 Agustus 2015 jam 9.00 WIB dan pemenang akan diumumkan pada hari itu juga jam 21.00 WIB.
2. Wajib follow twitter Penerbit Loveable (@Loveableous).
3. Share giveaway ini di twitter dengan mention Penerbit Loveable (@Loveableous) dan saya (@YuuSasih).
4. Jawab pertanyaan berikut:
Menurut kalian, apa saja kesulitan yang mungkin dihadapi pasangan beda agama (selain pernikahan beda agama tidak lagi difasilitasi pemerintah)?
5. Tulis jawabannya di kolom komentar dengan format:
Nama:
Akun Twitter:
Email:
Link share:
Jawaban:
Boleh juga share pendapat kalian tentang nikah beda agama. Pro dan kontra dilarang saling menyudutkan, yah. Komentar yang menyerang pihak lain akan saya hapus dan saya diskualifikasi dari giveaway.
Ditunggu partisipasi dan diskusinya!
Nama : Della Vita Yustika
ReplyDeleteAkun Twitter : @dellavitaa_
Email : DellaVitta13@gmail.com
Link Share : https://twitter.com/dellavitaa_/status/631026242481840128
Jawaban :
Menurut kalian, apa saja kesulitan yang mungkin dihadapi pasangan beda agama (selain pernikahan beda agama tidak lagi difasilitasi pemerintah)?
=Perbedaan pendapat dan pandangan hidup mereka, karena menganut agama yang berbeda kehidupan dan adat nya juga pasti berbeda. antara orang islam dan kristen aja beda banget, jadi dibutuhkan sikap yang saling menghargai yang tinggi saling toleransi,mengerti dan harus serius juga dengan pilihan nya, walaupun beda agamaa.
wish me luck di GA ini^^
Nama: Nadia Puspaningtyas A.
ReplyDeleteAkun Twitter: @Nadia48nafla
Email: ashari424@gmail.com
Link share: https://twitter.com/Nadia48nafla/status/631021709684912130
Jawaban :
Kesulitan yang mungkin dihadapi pasangan beda agama.....adanya pertentangan di pihak keluarga yang beragama islam, karena jelas hal itu dilarang dan hukumnya haram. Cara beribadah yang berbeda, membuat mereka harus saling menghargai agama pasangannya. Jika mempunyai anak, mereka harus memutuskan agama apa anak mereka. Walupun sudah menikah, pasti ada sedikit masalah di hubungan orangtua dan anak terutama yang beragama islam.
Dan ini benar-benar terjadi di keluarga saudara aku. Kehidupan mereka awalnya biasa-biasa saja tapi lama-lama mereka berdua sering sekali bertengkar entah masalah apa. Saat memiliki seorang anak, anak tersebut beragama islam seperti ibunya, mungkin karena tinggal di kampung halaman keluarga si perempuan. Dan masih ada masalah-masalah yang harus mereka hadapi...
Dalam suatu hubungan yang perlu menjadi dasar bukan hanya cinta tapi saling menghargai dan memahami satu sama lain. Dan tidak semua hubungan berjalan baik sesuai apa yang diinginkan.
Jika memang saling mencintai, alangkah lebih indah jika pasangan kita mempunyai keyakinan yang sama dengan kita atau se-agama?
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNama: Gestha Reffy
ReplyDeleteTwitter: @AltGST
Email: gesthareffy@gmail.com
Link share: https://twitter.com/AltGST/status/631126215798099973
Jawaban: Kurang bahkan tidak adanya restu dari masing-masing pihak keluarga pasangan umumnya menjadi kesulitan terbesar yang dihadapi oleh pasangan beda keyakinan. Tak jarang banyak kita temui kasus orang tua yang tidak mau mengakui anaknya lagi dikarenakan anak tersebut akan menjalani pernikahan beda keyakinan. Lantas apakah mereka akan menjalankan pernikahan tanpa restu orang tua?
Kemudian jika seandainya pasangan beda keyakinan menikah, lalu memiliki keturunan, bagaimana dengan keyakinan yang harus dianut sang anak? Tak jarang para pasangan menganggap bahwa keyakinan mereka adalah yang paling benar. Secara tidak langsung bisa saja anak itu diharuskan untuk mengikuti keyakinan sang ayah, atau harus menjalani keyakinan yang sama dengan sang ibu. Tidakkah sang anak merasa di-karbit?
Dan menurut saya kesulitan terberatnya adalah pada cara pandang. Setiap agama memang selalu mengajarkan dan mengarahkan kepada hal-hal kebenaran. Namun, jika terjadi masalah dalam rumah tangga pasangan beda keyakinan, lalu jika mereka mengambil jalan menurut cara pandang agama masing-masing tentunya akan terjadinya perbedaan yang bisa saja akan menimbulkan masalah-masalah baru bagi rumah tangga mereka. Dan jika pasangan tersebut sulit menemui titik temu, bahkan jenuh karena adanya beda pendapat, tak jarang para pasangan memilih cara terakhir. Yaitu berpisah.
Selain itu mindset masyarakat pun kebanyakkan masih bersikap negatif terhadap perkawinan beda keyakinan.
Kalau saya sendiri bukan orang yang pro dan kontra terhadap problema ini. Karena tiap orang memiliki hak untuk menikah dan memilih pasangan yang terbaik untuk mereka. Dan memilih pasangan baiknya tidak dipaksakan oleh pihak lain. Banyak argumen yang berkata jika orang yang menikah dengan orang yang seagama akan hidup dalam keharmonisan. Namun sejatinya, haromonisasi bukanlah hal yang didapatkan, melainkan dicari, dibuat, dan diperjuangkan.Lagi pula, konflik sudah ada sejak kita mempersatukan dua orang yang punya idealisme yang berbeda. Ini terjadi baik pada perkawinanbeda keyakinan atau pun pernikahan yang seagama. Menurut saya perbedaan inilah yang menjadi tantangan untuk menyatukan kita yang beragam ini. Dan tentunya mereka pasti punya alasan tertentu mengapa ingin melakukan perkawinan beda keyakinan. Namun, selagi kita rasa kita bisa menahan diri dari perkawinan beda keyakinan dan memilih untuk mencari pasangan yang satu iman dengan kita, mengapa tidak? ;)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNama: Jules
ReplyDeleteAkun Twitter: @Jule574
Email: Jules.forwardg@gmail.com
Link share:https://twitter.com/Jule574/status/631367957038239744
Jawaban:
Yang menarik adalah saat menentukan sisi Ketuhanan yang dipilih sebagai wujud pengakuan bagi sang Pencipta. Dibutuhkan keterbukaaan yang tidak sama dengan keluarga yang seagama. Nilai-nilai yang sehubungan dengan perwujudan akan pengakuan tersebut tentunya akan mengalami benturan demi benturan. Sebagai pasangan yang sudah memilih cara ini, maka sudah siap dan memahami setiap pertentangan yang akan dihadapi. Akan ada pihak yang dianggap 'kalah', walaupun disisi lain bukan 'menang'. Bila memang dipercaya bahwa cinta bisa menembus perbedaan, buktikan saja kepada dunia, bahwa cinta yang kita miliki cukup kuat dan fokus untuk mengasihi pasangan jiwa yang telah kita pilih .
Nama: Ariansyah
ReplyDeleteAkun Twitter: @ariansyahABO
Email: ariansyahabo@gmail.com
Link share: https://twitter.com/ariansyahABO/status/631461870784753664
Jawaban:
Menurut saya yang paling berat sih gimana pandangan orang sekitar ya, apalagi orang Indonesia ini yang notabene "perhatian" banget dengan urusan orang lain. Dan ngejalanin yang namanya "ngak peduli dengan anggapan orang lain" itu susah, karena pada kodratnya seseorang itu pasti masih ada rasa peduli dengan anggapan orang lain walaupun cuma sedikit (ini menurut saya sih :D).
Terus soal nikah beda agama, saya nggak menentang soal itu karena itu adalah pilihan masing-masing. buat saya kalo udah cinta, yang dicintai itu ya orangnya, sosoknya sebagai manusia, peduli amat sama yang lain-lainnya. Termasuk agama (atau gender xD).
Nama: Aya Murning
ReplyDeleteTwitter: @murniaya
Email: ayamurning@gmail.com
Link share: https://twitter.com/murniaya/status/631462293755314176
Jawaban:
Beda keyakinan lumayan sulit untuk dijalani ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Yah, gimana mau menyatu kalau yang satunya yakin tapi yang satunya enggak. Eh, bukan itu ya? Haha oke, back to topic.
Yang merepotkan itu dari cara hidup dan pola berpikir. Inilah yang biasanya suka memunculkan selisih paham antara keduanya. Kadang yang satu merasa paling benar, tapi yang satunya lagi juga merasa benar. Yang satu menjalani hidup dengan hukum begini begitu, yang satu lagi begini begitu. Beda. Meski dikatakan kalau semua agama menuju pada kebaikan (yeah, that's true) tapi tetap saja ada pembedanya. Kalau nggak beda ya kenapa ada perbedaan agama, ya kan?
Kita selalu diajari untuk saling toleransi dalam beragama, tapi kalau untuk urusan akidah menurutku itu nggak bisa diganggu gugat (harusnya). Apalagi pernikahan itu ladang ibadah bagi muslim. Kalau beda keyakinan, sedihnya itu nggak bisa beribadah bareng, misalnya naik haji gitu yang bisa jadi pengalaman precious banget bagi muslim, malah harus nikmatin sendirian. :(
Kadang aku berpikir mengapa mereka mendahulukan cinta pada manusia daripada ke Tuhan-nya bahkan sampai menggadaikan akidahnya sendiri (you know what I mean ya). Seorang pendakwah pernah berkata, "lebih baik kau cintai orang yang kau nikahi daripada menikahi orang yang kau cintai". Apalagi elemen utama memilih jodoh adalah karena agamanya demi menuntun kita menuju surga-Nya.
Anyway, tiap orang punya HAM masing-masing. Jika dia sudah memutuskan sesuatu maka itu adalah keputusannya. Orang lain (teman, saudara, orangtua) hanya bisa menyampaikan (pendapat), sisanya tergantung dia sendiri mau bagaimana. Jika ada yang mau nikah beda agama, yowes. Aku mah siapa atuh, bisa apa. Berprasangka baik saja. Mungkin dia ingin berdakwah melalui jalur pernikahannya itu.
Yang pasti mereka yang menjalani itu harus super duper berlapang dada menerima dan menjalani perbedaan yang ada. Toleransinya bener-bener dilebarin, tapi tetap tahu batasan masing-masing. Harus menghormati apa yang dilarang oleh agama si pasangan. Seperti di Islam forbidden sama anjing karena najis ya jangan pelihara anjing dalam rumah. Rumah kan mau dipakai untuk tempat beribadah juga. Nggak boleh juga konsumsi alkohol dan apapun yang dari babi ya jangan bawa atau sediain menu itu di meja makan yang sama. Kalau ada yang Hindu misalnya nggak boleh makan daging pun jangan sediain daging di piring makannya.
Sebagai pasangan yang baik pun mestinya bisa paham dan ngingetin aturan hidup pasangannya kalau-kalau aja khilaf lupa.
"eh kamu kan nggak boleh ini dan nggak boleh itu"
atau
"sholat jumat gih buruan biar dapet spot bagus dengerin cermahnya"
atau
"ibadah minggu dulu sana sebelum telat"
atau
"jangan lupa sembahyang ya sayang"
etc...
Yang seiman aja kadang udah ribet dengan keegoan dan beda sifat masing-masing, apalagi yang beda agama dengan aturan yang beda pula. Tapi kata orang sih kalau semuanya mau serba seragam kan jadinya nggak indah. Jika sudah menjalani nikah beda agama dan ingin terus dipertahankan karena sudah benar sayang tapi tetap pada pendirian, ya pokoknya indah-indahin aja deh demi meminimalisir konflik yang bisa muncul.
Hal terpenting juga saat mengenalkan pada anak tentang agama orangtuanya. Tugas orangtua hanya memberi pengertian mengapa ada 2 agama di keluarga ini, lalu mengenalkan, dan tidak ada paksaan dalam beragama sehingga biarkan si anak yang memilih sendiri. Kadang di sinilah ego bermain, yang satu pengin anaknya ikut dia tapi yang satu lagi pengin anaknya ikut dia aja. Ketika memasuki biduk pernikahan, baiknya sudah ada kesepakan dahulu ke depannya akan bagaimana untuk menyikapi soal mereka berdua, soal mertua, soal keluarga besar, dan soal anak kelak.