Judul: We Should Be All Feminist
Penulis: Chimamanda Ngozie Adichie
Penerbit: Fourth Estate
Tahun cetakan: 2014
Tebal: 49 halaman
Jenis: ebook
ISBN: 9780008115289
Should We All Be Feminists?
Saya menemukan buku ini di saat sedang mengalami reading slump berkepanjangan, hampir semua buku yang saya ambil tidak mampu membangkitkan semangat membaca saya. Buku ini menarik minat saya karena judulnya, We Should All Be Feminist, terasa seperti kalimat yang sering diucapkan oleh Emma Watson kepada setiap orang yang ditemuinya. Jujur, saya suka Emma, tapi sikapnya yang seolah begitu invading setelah mengaku menjadi feminis sering kali membuat saya mengernyit. Jadi, melihat judul buku ini, saya sempat mengira buku ini ada hubungannya dengan pandangan Emma Watson tersebut.
Tapi sepertinya tidak.
Buku yang hanya setebal di bawah seratus halaman ini disarikan dari pidato Chimamanda Ngozi Adichie di TEDx, kanal yang biasa menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif untuk memberikan pidato terkait bidang yang mereka kuasai. Dan Chimamanda, penulis dari beberapa buku feminis terkenal, tentu saja membicarakan mengenai feminis.
To Be or Not To Be a Feminist
Salah satu isu yang dihadapi feminis modern adalah pertanyaan, "Mengapa feminisme?" dengan argumentasi yang menyatakan bahwa feminisme adalah pandangan yang berat sebelah karena hanya memperhatikan satu jenis gender, dan jika memang feminisme mengklaim gerakannya juga bermanfaat bagi laki-laki, mengapa namanya feminisme alih-alih, misalnya, egalitarian atau pembela hak asasi manusia? Dan setelah berjalan puluhan tahun, apakah feminisme masih bisa dianggap relevan dengan dunia modern?
Salah satu jawaban dari Chimamanda:
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan baik melalui esai ini, dengan menyertakan isu-isu berbasis gender yang terjadi di dunia modern. Chimamanda tidak repot-repot menjelaskan soal teori-teori feminisme dari awal hingga akhir lagi seperti yang dilakukan beberapa buku feminisme, namun dia langsung terjun ke masalah-masalah di sekitar yang membuktikan bahwa feminisme masih sangat dibutuhkan dan mengapa kita semua harus menjadi seorang feminis.
Buku esai ini bisa dibaca oleh mereka yang telah dan pernah mempelajari feminisme namun masih memiliki pertanyaan kritis mengenai feminisme modern atau bisa juga dibaca oleh orang-orang awam yang belum mengenal feminisme namun ingin tahu seperti apa bentuk-bentuk kesenjangan gender yang masih terus dilawan oleh feminisme modern. Singkat, padat, tanpa berjejalan dengan argumen pribadi dan/atau teori semata, serta dapat dibaca dalam sekali perjalanan jauh dan cocok jadi santapan liburan yang bergizi, buku ini menurut saya a must read.
Tahun cetakan: 2014
Tebal: 49 halaman
Jenis: ebook
ISBN: 9780008115289
Should We All Be Feminists?
Saya menemukan buku ini di saat sedang mengalami reading slump berkepanjangan, hampir semua buku yang saya ambil tidak mampu membangkitkan semangat membaca saya. Buku ini menarik minat saya karena judulnya, We Should All Be Feminist, terasa seperti kalimat yang sering diucapkan oleh Emma Watson kepada setiap orang yang ditemuinya. Jujur, saya suka Emma, tapi sikapnya yang seolah begitu invading setelah mengaku menjadi feminis sering kali membuat saya mengernyit. Jadi, melihat judul buku ini, saya sempat mengira buku ini ada hubungannya dengan pandangan Emma Watson tersebut.
Tapi sepertinya tidak.
Buku yang hanya setebal di bawah seratus halaman ini disarikan dari pidato Chimamanda Ngozi Adichie di TEDx, kanal yang biasa menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif untuk memberikan pidato terkait bidang yang mereka kuasai. Dan Chimamanda, penulis dari beberapa buku feminis terkenal, tentu saja membicarakan mengenai feminis.
To Be or Not To Be a Feminist
Salah satu isu yang dihadapi feminis modern adalah pertanyaan, "Mengapa feminisme?" dengan argumentasi yang menyatakan bahwa feminisme adalah pandangan yang berat sebelah karena hanya memperhatikan satu jenis gender, dan jika memang feminisme mengklaim gerakannya juga bermanfaat bagi laki-laki, mengapa namanya feminisme alih-alih, misalnya, egalitarian atau pembela hak asasi manusia? Dan setelah berjalan puluhan tahun, apakah feminisme masih bisa dianggap relevan dengan dunia modern?
Salah satu jawaban dari Chimamanda:
Some people ask: "Why the word feminist? Why not just say you are a believer in human rights, or something like that?" Because that would be dishonest. Feminism is, of course, part of human rights in general--but to chose to use the vague expression human rights is to deny the specific and particular problem of gender. It would be a way to pretending that it was not women who have, for centuries, been excluded. It would be a way of denying that the problem of gender targets women.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan baik melalui esai ini, dengan menyertakan isu-isu berbasis gender yang terjadi di dunia modern. Chimamanda tidak repot-repot menjelaskan soal teori-teori feminisme dari awal hingga akhir lagi seperti yang dilakukan beberapa buku feminisme, namun dia langsung terjun ke masalah-masalah di sekitar yang membuktikan bahwa feminisme masih sangat dibutuhkan dan mengapa kita semua harus menjadi seorang feminis.
Buku esai ini bisa dibaca oleh mereka yang telah dan pernah mempelajari feminisme namun masih memiliki pertanyaan kritis mengenai feminisme modern atau bisa juga dibaca oleh orang-orang awam yang belum mengenal feminisme namun ingin tahu seperti apa bentuk-bentuk kesenjangan gender yang masih terus dilawan oleh feminisme modern. Singkat, padat, tanpa berjejalan dengan argumen pribadi dan/atau teori semata, serta dapat dibaca dalam sekali perjalanan jauh dan cocok jadi santapan liburan yang bergizi, buku ini menurut saya a must read.
Comments
Post a Comment