Judul: Bandar: Keluarga, Darah, dan Dosa yang Diwariskan
Penulis: Zaky Yamani
Penerbit: GPU
Tahun cetakan: 2014
Jenis: Paperback
ISBN: 9786020304281
Review ini dibuat untuk program Baca Bareng BBI 2015
Tema: Profesi
Seorang Dewi
Parlan, putra tunggal Haji Gaffar yang menguasai Gang Somad, terlilit dilema ketika ayahnya ingin menjadikannya sebagai ahli waris kerajaan ganjanya. Parlan yang mengambil kuliah jurusan hukum ingin menjadi pengacara yang bersih dan membela kaum yang lemah, namun kenyataan bahwa keluarganya sendiri terlibat dalam sebuah bisnis haram membuatnya malu setengah mati hingga kerap bertengkar dengan ayahnya.
Menyadari putranya tidak akan menuruti keinginannya dengan mudah, Gaffar pun akhirnya memanggil Parlan dan menceritakan tentang asal-usul bisnis ganja yang melibatkan tiga-perempat warga Gang Somad, yang semuanya dimulai dari hasil kerja keras Dewi, nenek Parlan dan ibu Gaffar.
Setelah melihat tingkah ayahnya yang mengkhianati ibunya dan berniat menikah lagi demi bisnis, Dewi, yang juga dijodohkan demi bisnis, menolak keras perjodohannya dan memutuskan untuk mencari kebahagiaannya sendiri dengan kabur tepat di hari pernikahan. Terbiasa hidup sebagai anak orang berada yang tidak pernah merasakan kesulitan dan dibesarkan dengan paham bahwa dia akan dinikahkan, Dewi tidak mengetahui bagaimana dunia luar bekerja hingga nasibnya terlunta-lunta dan ditipu sana-sini. Segala kesulitan hidup yang ditempuhnya--serta lingkaran setan yang membelenggunya--membuatnya berkenalan dengan ganja dan memulai bisnisnya. Dan kini, Parlan harus dihadapkan pada pilihan yang sama dengan Dewi: menghormati kerja keras keluarga dan meneruskan bisnis bandar ganja keluarganya, atau mengikuti pilihan neneknya dulu, menolak takdir keluarganya dan memilih jalannya sendiri.
Ganja dan Kehidupan Kelas Bawah
Buku ini menarik perhatian saya karena konon ditulis dengan riset selama sepuluh tahun. Temanya pun unik, tentang peredaran narkotika di Indonesia dari sudut pandang pengedar. Rasanya cocok dibaca dengan situasi hukum sekarang ini dengan polemik hukuman mati bagi para pengedar narkotika. Dalam buku ini dibuka kenyataan tentang para pengedar ganja, bagaimana lingkaran setan kemiskinan membelenggu manusia dalam kesengsaraan dan perbuatan yang dipandang mencela. Zaky Yamani dengan apik menyentil habis-habisan pandangan kalangan atas dan terpelajar yang dengan berbagai teori berusaha menghapuskan kemiskinan dan kejahatan tanpa pernah bisa benar-benar mengangkat masyarakat kelas bawah dari jurang kemiskinan hingga mereka hanya berakhir seperti menyindir orang-orang kelas bawah atas kekumuhan dan keburukan mereka.
Novel ini merangkum semua sejarah Indonesia paska-kemerdekaan mulai dari Orde Lama hingga Reformasi dan dengan miris memberi gambaran bahwa dalam era apa pun, kenyataannya Indonesia belum pernah benar-benar makmur. Kondisi politik yang terus berganti seolah hanya bergemuruh di lapisan atas, sementara lapisan bawah tetap stagnan--tetap susah dan merana. Hanya saja rasanya kurang kental penggambaran situasinya. Seringkali hanya sebagai informasi tambahan, seperti tahun 1965 yang krisis hingga membeli beras saja sulit (seperti sekarang), era tahun 80-an yang ramai dengan isu petrus, hingga tahun 1998 yang kembali mencekam, semuanya hanya seperti penjelasan linimasa dan kurang dieksplor perannya dalam cerita.
Alur ceritanya mirip sinetron dangdut di salah satu stasiun televisi swasta, tapi bukan sesuatu yang menurut saya akan mengurangi kenikmatan membaca. Penulisan Zaky Yamani enak dibaca, dan memang harus diakui, kisah seperti sinetron dangdut itu--perjodohan, poligami, perkosaan--masih terjadi di sekitar kita. Zaky menangkap semua realita itu dan menuliskannya apa adanya. Memang sepertinya tokoh utama sial terus, tapi memang seperti itulah lingkaran setan kemiskinan.
Hanya saja Zaky Yamani sepertinya masih kurang piawai dalam membedakan tulisan fiksi dengan artikel nonfiksi. Tulisannya enak dan mengalir, tapi masih sering terasa seperti membaca hard news alih-alih cerita fiksi. Selain itu, Zaky sepertinya berusaha keras agar pesan moral kisahnya bisa diterima secara gamblang oleh pembaca hingga kadang kala beberapa tokoh berbicara tentang sesuatu yang "agak di luar kapasitas"--seperti Dewi, gadis kampung yang bicara tentang feminisme. Jadi rasanya seperti antara ingin memasukkan opini tapi bergelut dengan realitas tokoh-tokohnya. Di sini, menurut saya, Zaky masih kurang lihai dalam bercerita--atau setidaknya, belum seperti kelihaian Eka Kurniawan dalam menyajikan masalah kaum kelas bawah dengan wisdom-wisdom khas mereka. Namun secara keseluruhan isu yang diangkat sangat menarik dan disampaikan dengan eksekusi yang cukup bagus dan menarik.
Bandar
Bicara tentang bandar narkotika, saya paling ingat ketika papa saya beberapa tahun lalu memberitahu tentang siklus peredaran narkotik di Indonesia. Mama saya penasaran kenapa jaringan narkotik di Indonesia tidak pernah bisa tuntas, dan jawaban Papa:
"Kalian tahu kenapa mereka nggak habis-habis? Karena penangkapan bandar narkotika itu ada main sama polisi. Yang ditangkap paling cuma bandar-bandar kecil, ditangkap cuma buat memeras bandar utama supaya uang keamanan turun. Di dalam penjara sendiri bisnis akan terus jalan, si bandar yang di penjara nggak akan kekurangan uang dan pasokan, karena polisi juga ikutan menyebarkan."
Waktu pertama kali mendengarnya, ucapan Papa itu terasa absurd. Namun kemudian di novel ini pun menjelaskan tentang hal yang sama. Dunia bandar narkotika dikupas habis, mulai dari cara mendapatkan "barang", kode-kode untuk distribusi, hingga sistem yang berlaku. Baru saya sadar bahwa kemungkinan besar Papa saya benar waktu itu. Bandar-bandar kecil keluar-masuk penjara, bandar besar aman sentosa karena memiliki dukungan dari aparat bahkan politisi dan pejabat pemerintahan. Yang susah, lagi-lagi, bandar kecil yang masih terlilit kesulitan ekonomi dan tidak terpelajar. Bandar yang sudah kaya tidak akan pernah diusik.
Bandar adalah novel perdana yang sangat menarik dari Zaky Yamani. Hasil risetnya yang bukan main-main terlihat jelas di karyanya dan sangat patut diacungi jempol. Pembahasan isu-isunya masih memihak, tapi dilakukan dengan baik. Bagi yang penasaran tentang bagaimana para bandar narkotika bekerja, novel ini sangat direkomendasikan.
Menyadari putranya tidak akan menuruti keinginannya dengan mudah, Gaffar pun akhirnya memanggil Parlan dan menceritakan tentang asal-usul bisnis ganja yang melibatkan tiga-perempat warga Gang Somad, yang semuanya dimulai dari hasil kerja keras Dewi, nenek Parlan dan ibu Gaffar.
Setelah melihat tingkah ayahnya yang mengkhianati ibunya dan berniat menikah lagi demi bisnis, Dewi, yang juga dijodohkan demi bisnis, menolak keras perjodohannya dan memutuskan untuk mencari kebahagiaannya sendiri dengan kabur tepat di hari pernikahan. Terbiasa hidup sebagai anak orang berada yang tidak pernah merasakan kesulitan dan dibesarkan dengan paham bahwa dia akan dinikahkan, Dewi tidak mengetahui bagaimana dunia luar bekerja hingga nasibnya terlunta-lunta dan ditipu sana-sini. Segala kesulitan hidup yang ditempuhnya--serta lingkaran setan yang membelenggunya--membuatnya berkenalan dengan ganja dan memulai bisnisnya. Dan kini, Parlan harus dihadapkan pada pilihan yang sama dengan Dewi: menghormati kerja keras keluarga dan meneruskan bisnis bandar ganja keluarganya, atau mengikuti pilihan neneknya dulu, menolak takdir keluarganya dan memilih jalannya sendiri.
Ganja dan Kehidupan Kelas Bawah
Buku ini menarik perhatian saya karena konon ditulis dengan riset selama sepuluh tahun. Temanya pun unik, tentang peredaran narkotika di Indonesia dari sudut pandang pengedar. Rasanya cocok dibaca dengan situasi hukum sekarang ini dengan polemik hukuman mati bagi para pengedar narkotika. Dalam buku ini dibuka kenyataan tentang para pengedar ganja, bagaimana lingkaran setan kemiskinan membelenggu manusia dalam kesengsaraan dan perbuatan yang dipandang mencela. Zaky Yamani dengan apik menyentil habis-habisan pandangan kalangan atas dan terpelajar yang dengan berbagai teori berusaha menghapuskan kemiskinan dan kejahatan tanpa pernah bisa benar-benar mengangkat masyarakat kelas bawah dari jurang kemiskinan hingga mereka hanya berakhir seperti menyindir orang-orang kelas bawah atas kekumuhan dan keburukan mereka.
Novel ini merangkum semua sejarah Indonesia paska-kemerdekaan mulai dari Orde Lama hingga Reformasi dan dengan miris memberi gambaran bahwa dalam era apa pun, kenyataannya Indonesia belum pernah benar-benar makmur. Kondisi politik yang terus berganti seolah hanya bergemuruh di lapisan atas, sementara lapisan bawah tetap stagnan--tetap susah dan merana. Hanya saja rasanya kurang kental penggambaran situasinya. Seringkali hanya sebagai informasi tambahan, seperti tahun 1965 yang krisis hingga membeli beras saja sulit (seperti sekarang), era tahun 80-an yang ramai dengan isu petrus, hingga tahun 1998 yang kembali mencekam, semuanya hanya seperti penjelasan linimasa dan kurang dieksplor perannya dalam cerita.
Alur ceritanya mirip sinetron dangdut di salah satu stasiun televisi swasta, tapi bukan sesuatu yang menurut saya akan mengurangi kenikmatan membaca. Penulisan Zaky Yamani enak dibaca, dan memang harus diakui, kisah seperti sinetron dangdut itu--perjodohan, poligami, perkosaan--masih terjadi di sekitar kita. Zaky menangkap semua realita itu dan menuliskannya apa adanya. Memang sepertinya tokoh utama sial terus, tapi memang seperti itulah lingkaran setan kemiskinan.
Hanya saja Zaky Yamani sepertinya masih kurang piawai dalam membedakan tulisan fiksi dengan artikel nonfiksi. Tulisannya enak dan mengalir, tapi masih sering terasa seperti membaca hard news alih-alih cerita fiksi. Selain itu, Zaky sepertinya berusaha keras agar pesan moral kisahnya bisa diterima secara gamblang oleh pembaca hingga kadang kala beberapa tokoh berbicara tentang sesuatu yang "agak di luar kapasitas"--seperti Dewi, gadis kampung yang bicara tentang feminisme. Jadi rasanya seperti antara ingin memasukkan opini tapi bergelut dengan realitas tokoh-tokohnya. Di sini, menurut saya, Zaky masih kurang lihai dalam bercerita--atau setidaknya, belum seperti kelihaian Eka Kurniawan dalam menyajikan masalah kaum kelas bawah dengan wisdom-wisdom khas mereka. Namun secara keseluruhan isu yang diangkat sangat menarik dan disampaikan dengan eksekusi yang cukup bagus dan menarik.
Bandar
Bicara tentang bandar narkotika, saya paling ingat ketika papa saya beberapa tahun lalu memberitahu tentang siklus peredaran narkotik di Indonesia. Mama saya penasaran kenapa jaringan narkotik di Indonesia tidak pernah bisa tuntas, dan jawaban Papa:
"Kalian tahu kenapa mereka nggak habis-habis? Karena penangkapan bandar narkotika itu ada main sama polisi. Yang ditangkap paling cuma bandar-bandar kecil, ditangkap cuma buat memeras bandar utama supaya uang keamanan turun. Di dalam penjara sendiri bisnis akan terus jalan, si bandar yang di penjara nggak akan kekurangan uang dan pasokan, karena polisi juga ikutan menyebarkan."
Waktu pertama kali mendengarnya, ucapan Papa itu terasa absurd. Namun kemudian di novel ini pun menjelaskan tentang hal yang sama. Dunia bandar narkotika dikupas habis, mulai dari cara mendapatkan "barang", kode-kode untuk distribusi, hingga sistem yang berlaku. Baru saya sadar bahwa kemungkinan besar Papa saya benar waktu itu. Bandar-bandar kecil keluar-masuk penjara, bandar besar aman sentosa karena memiliki dukungan dari aparat bahkan politisi dan pejabat pemerintahan. Yang susah, lagi-lagi, bandar kecil yang masih terlilit kesulitan ekonomi dan tidak terpelajar. Bandar yang sudah kaya tidak akan pernah diusik.
Bandar adalah novel perdana yang sangat menarik dari Zaky Yamani. Hasil risetnya yang bukan main-main terlihat jelas di karyanya dan sangat patut diacungi jempol. Pembahasan isu-isunya masih memihak, tapi dilakukan dengan baik. Bagi yang penasaran tentang bagaimana para bandar narkotika bekerja, novel ini sangat direkomendasikan.
Setelah sekian lama dikasih link-nya baru baca uwu
ReplyDeleteJadi, ini recomended ga kak? ._.
Aku sih, yes. :p Kalau suka gaya-gaya Eka Kurniawan atau Okky Madasari cerita ini ya tipe-tipe itulah.
Delete