Judul: Ibuku Lelaki: Cerita Cinta Melampaui Tubuh
Penulis: Various
Penerbit: Suara Kita
Tahun cetakan: 2015
Jenis: Paperback
Tebal: 155 halaman
ISBN: 9786027175549
Cinta dan Tubuh
Oktober 2015 lalu, Yayasan Suara Kita meluncurkan buku antologi cerpen komunitas mereka di Cikini, Jakarta. Buku setebal 155 ini berisikan cerpen-cerpen yang sebelumnya sempat diterbitkan di website Suara Kita. Beruntung, saya berkesempatan mendapatkan satu eksemplar buku tersebut ketika menjadi narasumber dalam satu acara diskusi mereka pada bulan November.
Total terdapat 23 cerita pendek dalam buku ini yang dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, Cinta Adam: Dimengerti Laki-Laki merupakan kumpulan kisah cinta para lelaki dari berbagai macam orientasi seksual, seperti gay, biseksual dan waria. Di bagian kedua, baru kita disuguhi kisah-kisah dari para perempuan berbagai orientasi seksual dalam Cinta Hawa: Dimengerti Perempuan. Bagian ketiga, Cinta Tuhan: Sulit Dimengerti Manusia, ini yang menurut saya unik. Cerpen-cerpen dalam kategori ini banyak mengangkat tema hubungan-hubungan yang dikategorikan di luar payung LGBT, seperti inses dan hubungan platonis.
Tema besar dari antologi ini adalah mengenai cinta alami yang tak mengenal batasan-batasan sosial yang diberikan terhadap tubuh manusia. Menurut saya sebagian besar kisah yang ada di sini berhasil mengusung tema itu dengan baik. Meski memang masih lebih banyak yang berakhir tidak bahagia, tapi memang tidak bisa dipungkiri kenyataan tersebut masih terjadi di sekitar kita. Masih banyak orang-orang yang dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka cintai, bahkan diusir dari rumah untuk menghilangkan 'aib' dari keluarga. Kurang-lebih sama seperti yang dijelaskan oleh Rocky Gerung di kata pengantarnya.
Namun saya senang karena beberapa cerita juga memberikan pengharapan dan alternatif lain kehidupan bagi mereka yang selama ini tertindas. Beberapa kembali bertemu dan pergi ke tempat yang lebih mampu menerima mereka, beberapa lebih bebas menentukan kebahagiaan tanpa pengekangan tubuh yang terlalu ketat. Saya kira ini proporsi yang seimbang sekaligus realistis terhadap penggambaran kaum LGBTQIA+ di Indonesia.
Cinta dan Sastra
Saat mendapatkan buku ini, sesungguhnya saya tidak banyak berekspektasi. Saya cukup sering membaca buku terbitan komunitas dan seringkali menghadapi kisah-kisah yang 1) kisah menawan dengan suntingan alakadarnya, 2) kumpulan tulisan dari aktivis yang lebih sering berteori daripada menulis fiksi, atau 3) kumpulan cerita dari anggota komunitas yang meski dikuatkan oleh pengalaman pribadi namun tidak diikuti kecakapan menulis fiksi dan penyuntingan yang mumpuni.
Karena itu saya mendapatkan kejutan yang cukup menyenangkan ketika menemukan cerpen-cerpen yang dibukukan di sini memiliki kualitas penulisan dan penyuntingan yang bahkan ada di atas buku-buku penerbit mayor. Tidak ada tipografi yang meresahkan sejauh saya membaca, juga penyusunan tempatnya sangat cantik dan profesional. Konten di dalam setiap cerpen pun memiliki kualitas setara sastra koran, dengan kesensitifan dalam eksplorasi isu yang tidak memihak ataupun menyalahkan.
Hal ini menjadi wajar ketika menengok ke bagian akhir buku dan melihat biodata para kontributor dalam antologi ini. Ternyata sebagian besar memang merupakan sastrawan yang setidaknya pernah menerbitkan buku mereka, bahkan beberapa pernah memenangkan penghargaan sastra. Jadi memang wajar sekali jika kualitas cerpen yang ada di dalam buku antologi ini menjadi enak dinikmati.
Dari ke-23 cerita pendek di buku ini, cerita yang paling berkesan untuk saya pribadi adalah "Seratus Cambuk" yang ditulis oleh Antok Serean, yang mengisahkan tentang opresi terhadap kaum homoseksual di Aceh dan cerpen "Bayang" karya Banyu Bening yang mengisahkan tentang sepasang kekasih yang akhirnya bisa kembali bersama setelah sekian lama terpisah karena keputusan keluarga. Keduanya ditulis dengan permainan bahasa yang indah dan eksplorasi isu yang sesuai.
Buku kumpulan cerpen ini menunjukkan bahwa Yayasan Suara Kita serius dalam mengedukasi masyarakat melalui karya literasi. Penggarapan akhir dan kontennya yang berkualitas patut dicontoh oleh komunitas-komunitas lain, bahkan oleh penerbit mayor sekalipun. Semoga ke depannya Suara Kita bisa terus menerbitkan buku-buku gender dan seksualitas yang berkualitas!
Tema besar dari antologi ini adalah mengenai cinta alami yang tak mengenal batasan-batasan sosial yang diberikan terhadap tubuh manusia. Menurut saya sebagian besar kisah yang ada di sini berhasil mengusung tema itu dengan baik. Meski memang masih lebih banyak yang berakhir tidak bahagia, tapi memang tidak bisa dipungkiri kenyataan tersebut masih terjadi di sekitar kita. Masih banyak orang-orang yang dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka cintai, bahkan diusir dari rumah untuk menghilangkan 'aib' dari keluarga. Kurang-lebih sama seperti yang dijelaskan oleh Rocky Gerung di kata pengantarnya.
"Tubuh adalah pemberian alam. Dimaksudkan untuk melanjutkan kehidupan. Dalam niat alamiah itu, seksualitas bertumbuh. Tetapi kemudian peradaban tiba untuk mengatur. Maka tubuh menjadi tubuh yang diatur: oleh politik, oleh tradisi, oleh ilmu, oleh agama, oleh teknologi, oleh hukum, dst. Tubuh ditertibkan oleh kehendak orang lain, oleh institusi."
Namun saya senang karena beberapa cerita juga memberikan pengharapan dan alternatif lain kehidupan bagi mereka yang selama ini tertindas. Beberapa kembali bertemu dan pergi ke tempat yang lebih mampu menerima mereka, beberapa lebih bebas menentukan kebahagiaan tanpa pengekangan tubuh yang terlalu ketat. Saya kira ini proporsi yang seimbang sekaligus realistis terhadap penggambaran kaum LGBTQIA+ di Indonesia.
Cinta dan Sastra
Saat mendapatkan buku ini, sesungguhnya saya tidak banyak berekspektasi. Saya cukup sering membaca buku terbitan komunitas dan seringkali menghadapi kisah-kisah yang 1) kisah menawan dengan suntingan alakadarnya, 2) kumpulan tulisan dari aktivis yang lebih sering berteori daripada menulis fiksi, atau 3) kumpulan cerita dari anggota komunitas yang meski dikuatkan oleh pengalaman pribadi namun tidak diikuti kecakapan menulis fiksi dan penyuntingan yang mumpuni.
Karena itu saya mendapatkan kejutan yang cukup menyenangkan ketika menemukan cerpen-cerpen yang dibukukan di sini memiliki kualitas penulisan dan penyuntingan yang bahkan ada di atas buku-buku penerbit mayor. Tidak ada tipografi yang meresahkan sejauh saya membaca, juga penyusunan tempatnya sangat cantik dan profesional. Konten di dalam setiap cerpen pun memiliki kualitas setara sastra koran, dengan kesensitifan dalam eksplorasi isu yang tidak memihak ataupun menyalahkan.
Hal ini menjadi wajar ketika menengok ke bagian akhir buku dan melihat biodata para kontributor dalam antologi ini. Ternyata sebagian besar memang merupakan sastrawan yang setidaknya pernah menerbitkan buku mereka, bahkan beberapa pernah memenangkan penghargaan sastra. Jadi memang wajar sekali jika kualitas cerpen yang ada di dalam buku antologi ini menjadi enak dinikmati.
Dari ke-23 cerita pendek di buku ini, cerita yang paling berkesan untuk saya pribadi adalah "Seratus Cambuk" yang ditulis oleh Antok Serean, yang mengisahkan tentang opresi terhadap kaum homoseksual di Aceh dan cerpen "Bayang" karya Banyu Bening yang mengisahkan tentang sepasang kekasih yang akhirnya bisa kembali bersama setelah sekian lama terpisah karena keputusan keluarga. Keduanya ditulis dengan permainan bahasa yang indah dan eksplorasi isu yang sesuai.
Buku kumpulan cerpen ini menunjukkan bahwa Yayasan Suara Kita serius dalam mengedukasi masyarakat melalui karya literasi. Penggarapan akhir dan kontennya yang berkualitas patut dicontoh oleh komunitas-komunitas lain, bahkan oleh penerbit mayor sekalipun. Semoga ke depannya Suara Kita bisa terus menerbitkan buku-buku gender dan seksualitas yang berkualitas!
Comments
Post a Comment