Judul: Namaku Loui(sa)
Penulis: Adya Pramudita
Penerbit: Moka Media
Tahun cetakan: 2015
Jenis: Paperback
Tebal: 238 halaman
ISBN: 9789797959647
Loui atau Louisa
Sebagai seseorang pemusik yang tengah naik daun, Louisa selalu merasa ada yang salah pada dirinya. Dia cantik secara fisik luaran, tapi dadanya tidak pernah tumbuh dan dia tidak pernah mendapatkan menstruasi seperti perempuan pada umumnya. Dia sering bertanya mengenai hal ini pada ibunya, tapi ibunya tidak pernah menggubrisnya. Yang ibunya inginkan hanya Louisa berkelakuan layaknya perempuan sewajarnya. Dia bahkan memarahi teman-teman Louisa yang memanggil putrinya dengan nama Loui, meski Louisa sendiri lebih nyaman dipanggil dengan nama itu.
Ketegangan yang terus berlanjut dengan ibunya akhirnya membuat Louisa pergi dari rumah dan bekerja sebagai pelayan kafe sebelum bakatnya bermain biola memancing rasa penasaran seorang pencari bakat. Namun begitu masuk ke dunia hiburan, kegalauan justru makin menggempur Louisa, terutama ketika manajernya berusaha mendekatkannya dengan aktor yang tengah naik daun, Hans Jo. Louisa tidak pernah merasakan ketertarikan pada Hans Jo, atau pada lelaki mana pun, bahkan Dimitri, sahabatnya. Getar-getar di hatinya justru timbul setiap kali dia bersama sahabat perempuannya, Jingga.
Tekanan ini membuat Louisa akhirnya pergi memeriksakan kondisinya ke dokter, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya karena halangan ibunya. Dari hasil pemeriksaan dokter, akhirnya Louisa memahami sumber keresahan hatinya selama ini yang mewujud dalam kenyataan bahwa dirinya adalah seorang ambigu.
Interseks dan Kelamin Ambigu
Tema ambiguous genitalia yang diusung dalam cerita ini merupakan salah satu kondisi yang termasuk dalam kategori interseks. Wikipedia mendefinisikan interseks sebagai:
"Intersex, in humans and other animals, describes variation in sex characteristics including chromosomes, gonads, or genitals that "do not fit typical binary notions of male or female bodies." "
Dengan kata lain, interseks adalah mereka yang memiliki karakteristik seks yang tidak bisa dikatakan murni perempuan atau murni laki-laki. Ada beberapa jenis kondisi yang dapat digolongkan sebagai interseks selain ambiguous genitalia, yaitu hermafrodit murni, ovotestes, dan phall-o-meter. Ambiguous genitalia sendiri merupakan kondisi dimana seorang anak dengan ciri fisik perempuan lahir dengan klitoris yang terlalu besar atau anak laki-laki dengan penis yang terlalu kecil. Jadi mereka laki-laki atau perempuan? Tergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka, apakah ingin "masuk" ke dalam satu golongan kelamin atau tidak merasa berada dalam kedua kategori tersebut.
Interseks harap dibedakan dengan transgender, karena transgender adalah orang-orang yang merasakan ketimpangan antara jenis kelamin biologisnya dengan identitas, perilaku atau ekspresi gender mereka. Seorang transgender bisa saja juga merupakan seorang interseks, tapi tidak selalu dan sejalan. Sebelumnya golongan interseks disebut dengan hermaphrodite, meski akhirnya tidak lagi digunakan begitu ditemukan ragam kondisi interseks yang lain.
Eksplorasi Kisah Interseks
Saya sangat salut pada keputusan penulis untuk mengangkat tema interseks karena memang tema ini masih sangat jarang diangkat, apalagi di Indonesia. Saya sendiri baru tahu satu buku tentang interseks, yaitu Middlesex karya Jeffrey Eugenides yang sepertinya masih menjadi kisah panutan untuk pembahasan interseks sampai sekarang.
Meski pembahasannya masih terkesan mendasar, tapi penulis sudah bisa mengeksplorasi pergulatan batin Louisa dengan cukup baik dalam novel ini. Sebenarnya di beberapa tempat masih terasa tendensius, tetapi penulis atau editornya dengan lihai menyelipkan pembelaan terhadap pandangannya hingga tidak ada kalimat yang bisa menimbulkan protes, setidaknya dari saya. Saya juga suka sekali dengan keputusan penulis untuk tidak ribet di definisi ilmiah dari interseks dan lebih fokus pada konflik menjadi diri sendiri vs. ekspektasi lingkungan, membuatnya jadi lebih empatik dan down to earth.
Karakter-karakternya pun beraneka ragam dan seimbang, tidak semua menghina atau semua simpatik. Beberapa tokoh mengalami perubahan pandangan mengenai Louisa, tapi sebagian besar 'diselesaikan' di balik layar, jadi semacam terasa seperti sinetron Hidayah yang tadinya antagonis banget lalu di akhir mendapat hidayah dan minta maaf (hihi). Karakter paling favorit saya adalah Jingga, my precious little cinnamon roll. Dia tidak pernah menghakimi orang-orang di sekitarnya dan selalu ada di sisi Louisa dalam suka maupun duka. Duh, manusia langka macam Jingga wajib dilindungi dari serangan para nyinyir yang terkutuk!
Karakter-karakternya pun beraneka ragam dan seimbang, tidak semua menghina atau semua simpatik. Beberapa tokoh mengalami perubahan pandangan mengenai Louisa, tapi sebagian besar 'diselesaikan' di balik layar, jadi semacam terasa seperti sinetron Hidayah yang tadinya antagonis banget lalu di akhir mendapat hidayah dan minta maaf (hihi). Karakter paling favorit saya adalah Jingga, my precious little cinnamon roll. Dia tidak pernah menghakimi orang-orang di sekitarnya dan selalu ada di sisi Louisa dalam suka maupun duka. Duh, manusia langka macam Jingga wajib dilindungi dari serangan para nyinyir yang terkutuk!
Jingga tampak mengencangkan rahang mencoba bicara, "Dimi, saat itu kau enggak tahu apa yang terjadi pada Loui. Begitu juga denganku. Tidak ada satu pun yang tahu. Bahkan dia sendiri tidak tahu pasti mengapa ia demikian." Jingga menepuk lengan Dimitri, "Jangan hukum dirimu begini. Jangan hukum Louisa dengan sikapmu. Ini takdirnya, bukan kemauannya."
Yang menjadi keberatan saya hanya gaya penulisannya yang seperti terjebak antara gaya bahasa baku dan gaul. Narasi dan dialog di beberapa tempat terkesan kaku seperti gaya penulisan terjemahan, tapi kemudian akan ada selipan-selipan kata yang terkesan lebih santai dan memakai istilah seperti "masbro" yang gaul sekali hingga rasanya seperti tabrakan. Saya tahu beberapa penulis memang berusaha menyatukan gaya bahasa baku dengan sedikit kata-kata gaul untuk membuat tulisan menjadi lebih santai, tapi dalam novel ini hasil penyatuan itu rasanya seperti jadi adonan bantat: masih bisa dibuat brownies enak, tapi tetap saja ketahuan kalau adonannya bantat dan gagal memenuhi standar adonan yang ingin diramu. Dan saya agak terganggu dengan rasa hasil adonannya.
Selain itu, keberatan utama saya ada pada kovernya, karena sangat mengingatkan akan kover ini:
Omong-omong, itu kover buku Nobody is Ever Missing dari Catherine Lacey yang terbit sekitar Juli 2014 dan menjadi Best Cover 2014. Sementara itu, Namaku Loui(sa) terbit pada Januari 2015. Terlalu dekat untuk dibilang kebetulan, kan? Tapi yah, mungkin terinspirasi, apalagi saya sudah sering dengar keluhan serupa mengenai penerbit ini terkait kemiripan "terlalu kebetulan" kover-kover keluaran mereka dengan buku-buku luar populer. Tetap saja, saya merasa agak terganggu dengan kemiripannya, terutama karena Nobody is Ever Missing juga merupakan buku kesukaan saya.
Semoga selanjutnya desainer kover Moka bisa lebih baik. Selain itu, ditunggu karya-karya lainnya dari Adya Pramudita!
P.s. Review ini dibuat untuk #WabahReview dari blog Putri Review. Terima kasih atas hibah bukunya!
Semoga selanjutnya desainer kover Moka bisa lebih baik. Selain itu, ditunggu karya-karya lainnya dari Adya Pramudita!
P.s. Review ini dibuat untuk #WabahReview dari blog Putri Review. Terima kasih atas hibah bukunya!
wow review loe keren yu :D
ReplyDeletegue jadi bersyukur loe dapet buku namaku louisa ini :D
ahaha. makasih, Han. ;)
DeleteReviewnya keren, detail banget :D. Makasih ya, Ayu :D.
ReplyDeleteMakasih juga bukunya, Putri. ;)
Deleteah, maafkan saya baru baca riview keren ini. terima kasih banyak yaa, sudah membaca dan berkenan mengulasnya. semoga karya berikutnya bisa lebih baik. salam kenal putri dan ayu. sukses untuk semua.
ReplyDeleteDitunggu karya selanjutnya, mbak. X))
Delete