Skip to main content

[Review] The Crocodile Hole




Judul: The Crocodile Hole
Penulis: Saskia Wieringa
Penerbit: Yayasan Jurnal Perempuan
Tahun cetakan: 2015
Jenis: Paperback
Tebal: 326
ISBN: 9789793520223


Perjalanan Jurnalis Perempuan

Tommy adalah seorang jurnalis muda dari Belanda yang pergi ke Indonesia untuk lari dari masa lalunya. Di Indonesia, awalnya dia ditugaskan untuk meliput mengenai kondisi pemberdayaan  perempuan di Indonesia. Namun di tengah meliput acara perayaan Hari Kartini, Tommy merasakan adanya represi dalam kegiatan perempuan di Indonesia. Rasa penasarannya itu kemudian membuatnya berkenalan dengan Tante Sri, mantan anggota Gerwani yang dipenjara selama belasan tahun paska tragedi G 30S/PKI di tahun 1965.

Gerwani menjadi salah satu simbol yang digunakan pada masa Orde Baru untuk melakukan represi pada pergerakan perempuan. Simbol itu dibentuk melalui sebuah rumor bahwa saat terjadi G 30S/PKI, anggota Gerwani dikatakan melecehkan para Jenderal sebelum akhirnya membunuh mereka sambil menarikan Tarian Harum Bunga yang seronok. Dari Tante Sri, dan juga mantan anggota Gerwani yang lain, Tommy mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi pada malam berdarah tahun '65 itu, juga apa yang terjadi terhadap para perempuan anggota organisasi itu setelahnya. Sayangnya, sehati-hati apa pun, pemerintah masih terus mengawasi gerak-gerik setiap orang yang ingin mencari tahu mengenai hal ini.

Gerakan Wanita Indonesia

Gerwani berawal dari enam organisasi perempuan daerah di Jawa yang bersatu menjadi Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Terdiri dari perempuan-perempuan dari partai nasionalis dan komunis, tujuan pembentukan organisasi ini adalah sebagai tempat berkumpul perempuan-perempuan yang "sadar" terhadap partisipasi aktif perempuan dalam masyarakat terlepas dari urusan rumah tangga dan pernikahan.

Pada tahun 1954, mereka memutuskan untuk menjadi lebih aktif dalam kegiatan politik dan akhirnya mengubah nama mereka menjadi Gerwani.  Awalnya mereka adalah organisasi bebas. Namun kegiatan mereka banyak dipengaruhi oleh paham sosialisme hingga membuat mereka lebih condong ke aliran kiri. Posisi politik organisasi ini dipaksa dibuat jelas saat Presiden Soekarno mengumumkan bahwa setiap organisasi wajib berada dalam tiga kubu politik utama: Nasionalis, Komunis, atau Agamis. Gerwani pun akhirnya bergabung ke dalam PKI, meski dengan keberatan banyak anggota, karena Aidit menjanjikan akan membuat program pemberdayaan perempuan jika PKI menang di pemilu.

Namun, nyatanya, setelah itu kebutuhan Gerwani sebagai organisasi individu tidak lagi diperhatikan begitu PKI dan Aidit sibuk mempersiapkan invasi Malaysia yang direncanakan oleh Soekarno. Anggota Gerwani dianggap sebagai anggota PKI umumnya dan diminta membantu rencana besar partai alih-alih mengurusi agenda individual. Hal inilah yang membuat anggota Gerwani ada di Lubang Buaya pada tanggal 30 September.

Mural anggota Gerwani melakukan Tari Harum Bunga pada peristiwa G 30S/PKI

Setelah peristiwa tersebut, Gerwani dibubarkan bersamaan dengan diberantasnya PKI. Anggotanya ditangkapi dan dipenjara tanpa diadili. Banyak juga yang dibunuh dan diperkosa hingga tewas. Begitu dibebaskan pun, pergerakan mereka dipantau intel negara dan mereka hidup dengan membawa label "eks-tapol". Rumor tentang mereka yang menari erotis seraya melecehkan dan membunuhi para jenderal tersebar luas dan menjadi simbol "perempuan nakal" hingga saat ini. Padahal, begitu ditelisik lebih jauh, dari pakaian tujuh jenderal yang tewas tidak ditemukan tanda-tanda kastrasi yang dituduhkan dilakukan oleh anggota Gerwani.

Menurut pengakuan anggota yang hadir di Lubang Buaya waktu itu, jenderal-jenderal tersebut telah meninggal saat datang di Lubang Buaya, kemudian beberapa dari perempuan yang hadir diperintahkan untuk menari dan berteriak-teriak di tanah lapang seraya direkam oleh anggota militer yang hadir. Kemudian hasil rekaman itulah yang dijadikan bukti Tarian Harum Bunga yang konon dilakukan sebelum para perempuan mengkastrasi kelamin para jenderal dan membunuh mereka. Aksi binal tersebut kemudian diabadikan di mural peringatan kekejaman G 30S/PKI di Lubang Buaya dan nama Gerwani selamanya tercemar.

Sejarah Perempuan dalam Fiksi

The Crocodile Hole merupakan novelisasi dari hasil disertasi Saskia Wieringa mengenai topik yang sama. Novel ini sebagian besar merupakan kisah nyata kejadian yang dialami oleh penulis selama mengerjakan disertasinya di Indonesia. Hasil disertasi itu akhirnya diubah menjadi bentuk fiksi karena dia yakin bahwa fiksi akan lebih banyak dibaca dibanding disertasi yang bersifat ilmiah.

Tidak seperti kebanyakan penulis nonfiksi yang terasa kaku saat menulis fiksi, novel The Crocodile Hole ditulis layaknya kisah sastra. Narasinya halus dan indah dengan plot maju-mundur antara saat-saat Tommy dipenjara dan saat dia menyelidiki peristiwa 1965. Membaca novel ini tidak seperti membaca hasil laporan tentang Gerwani. Pun mungkin akan banyak yang kecewa jika mengira novel ini seluruhnya tentang fakta-fakta terkait Gerwani.

Dalam novel ini, pembaca akan lebih banyak diajak menyelami kehidupan Tommy si jurnalis menelaah pertentangan idealismenya (yang bukan seorang komunis serta dibesarkan oleh seorang kakek yang cauvinist), hasrat seksualnya (pada kekasih teman baiknya), kemungkinan orang-orang yang melaporkan penyelidikannya ke yang berwenang (yang, sayangnya, semuanya adalah orang-orang yang dihormati dan dipercayainya di Indonesia), serta siapa yang akan bisa membantunya keluar dari tahanan (sisa dari siapa pun yang bisa dipercaya). Membaca The Crocodile Hole sesungguhnya adalah membaca Tommy, dan apa yang hendak disampaikannya mengenai fitnah-fitnah terhadap anggota Gerwani pada tahun 1965.

Sayangnya, walau diterbitkan di Indonesia, novel ini berbahasa Inggris. Saya tidak tahu kenapa akhirnya diputuskan dalam Bahasa Inggris, tapi menurut saya akan lebih enak jika ditulis/diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Lagipula banyak frasa-frasa Indonesia yang terselip dalam terjemahan Bahasa Inggris-nya, seperti "Tante", "Mbak", dll. Pola kalimatnya pun tampak seperti pola Bahasa Indonesia, jadi saat diterjemahkan ke Bahasa Inggris, pola itu masih terlihat dan jadi terasa canggung bagi saya yang paham Bahasa Indonesia. Jadi, ini satu-satunya hal yang sangat disayangkan. Jika ada versi Bahasa Indonesianya, tak ragu saya akan membelinya lagi.

Comments

Popular posts from this blog

[Review] A Little Life

Judul: A Little Life Penulis: Hanya Yanagihara Penerbit: Doubleday Tahun cetakan: 2015 Jenis: ebook Tebal: 669 halaman ISBN: 9780385539265 PERHATIAN: Buku ini memiliki beberapa trigger yang mungkin akan dapat memengaruhi kondisi mental pembaca yang pernah/sedang mengalami isu-isu sensitif--perkosaan, penganiayaan fisik dan seksual, kekerasan pada anak, kecanduan obat-obatan, penyakit kejiwaan serta kecenderungan bunuh diri. Jika memiliki salah satu dari trigger yang disebutkan, disarankan untuk tidak membaca buku ini atau membaca dengan pantauan orang sekitar.

[Review] Majapahit : Sandyakala Rajasawangsa

Judul : Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa (Majapahit #1) Penulis : Langit Kresna Hariadi Penerbit : Bentang Pustaka Tahun cetakan : 2012 Jenis : Paperback ISBN : 9786028811811 Rating : 3,5/5 Saya sangat menyukai seri Gajah Mada dari Pak LKH, tapi sewaktu saya berniat mengoleksinya, bersama seri Candi Murca, buku-bukunya kebanyakan sudah tidak beredar lagi. Sewaktu ingin tanya-tanya ke bapak penulisnya langsung tentang kedua seri tersebut, saya menemukan kalau LKH ternyata menerbitkan seri terbarunya, Majapahit. Karena saya suka Gajah Mada, sang mahapatih Majapahit itu, maka saya juga jadi berminat pada seri baru ini karena penasaran kisah apa yang akan diusung olehnya, mengingat sepertinya kondisi kerajaan Majapahit sudah cukup banyak terkaver dalam seri Gajah Mada. Jadi, dimulai dari manakah kisah kerajaan terbesar Indonesia ini?

[Review] A Room of One's Own

Judul: A Room of One's Own Penulis: Virginia Woolf Penerbit: Harcourt Tahun cetakan: 1989 Jenis: Paperback ISBN: 9780156787338