Judul : Refrain
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Tahun cetakan : 2012
Jenis : Paperback
ISBN : 9797803627
Rating : 2/5
Oke, saya tahu review ini telat banget. Setelah filmnya keluar saya baru tergerak untuk baca, itu pun nggak modal beli sendiri, tapi pinjam punya teman. Ini kali pertama saya membaca karya Winna Efendi, yang selama beberapa bulan ini ingin saya baca akibat banyak teman di Goodreads yang sepertinya merating bagus buku-bukunya. Namun karena saya masih sangsi untuk membeli bukunya, jadinya saya pinjam punya teman untuk mengecek apakah gaya Winna sesuai dengan cangkir teh saya.
Intro
Refrain menceritakan tentang kisah tiga sahabat, Niki, Nata, dan Annelise. Niki dan Nata berteman sejak mereka SD, sementara Annelise adalah putri tunggal dari seorang model terkenal yang baru saja kembali ke Indonesia yang kesepian dan akhirnya berteman dengan dua sahabat tersebut. Begitu masuk SMA, Nata perlahan menyadari perubahan perasaannya pada Niki. Di lain pihak, Niki pun mulai merasakan cinta, tapi bukan dengan Nata. Keadaan semakin ruwet ketika Annelise ternyata juga ikut-ikutan menyimpan rasa pada Nata. Ketika jalinan persahabatan harus diselingi dengan perasaan yang lain, yang manakah yang akan mereka pertahankan?
Refrain
Satu hal yang saya suka dari penulis-penulis mainstream-romance gagas adalah penggunaan bahasa mereka yang ringan dan lugas sekaligus. Winna Efendi juga demikian. Kata-katanya mengalir efektif tanpa banyak jargon-jargon yang membingungkan. Proporsi antara deskripsi dan dialog diramu dengan pas hingga kecepatan cerita juga mengalir dengan enak tanpa harus terkesan terlalu cepat pindah scene atau terlalu bertele-tele. Saya akui saya sangat suka membaca tulisan Mbak Winna yang mengalir, membuat saya tidak perlu terhenti cukup lama di satu tempat karena bosan. Dan memang akhirnya novel ini bisa saya selesaikan dalam waktu beberapa jam saja.
Masalahnya, potensi dalam penulisan tidak diimbangi dengan pemilihan tema cerita. Membaca Refrain, yang muncul di kepala saya adalah.... anime? Plotnya sungguh khas anime shojo (anime cewek) yang memiliki setting di sekitaran sekolah, bahasannya berputar di sekitar persahabatan dan cinta-segi-ruwet. Setting ceritanya tidak terasa Indonesia-nya sama sekali, dan lebih merasa kalau sekolahnya Niki dkk. adalah sekolah Jepang atau Amrik. Lagipula, di awal bab ditulis bahwa mereka tengah libur musim panas.... yang tentunya tidak ada di Indonesia--di Indonesia adanya cuma libur semesteran, libur lebaran, libur tahun baru, dll., nggak ada yang namanya libur musim kemarau atau libur musim hujan atau libur musim yang lain.
Lalu masalah karakternya. Juga stereotipe tokoh anime/manga shojo. Cewek cheers yang selalu energetik dan polos? Cowok cuek yang ogah main dengan cewek--dan sekalinya mau bersahabat dengan perempuan langsung jatuh hati? Cewek anak tunggal seorang kaya yang kesepian? Cowok jagoan olahraga dengan senyum menawan--dan juga kaya raya--yang bisa memilih cewek yang lebih baik tapi akhirnya memilih cewek yang biasa saja? Cewek ketua cheers yang mementingkan popularitas serta selalu iri hati pada orang-orang yang mencuri panggungnya? Shojo, yes. Teenlit, yes. Kehidupan sosialita yang pretensius, yes. Klise, of course.
Sebenarnya saya tidak ada masalah dengan klise, selama hal itu bisa diolah dengan apik. Ada banyak cerita klise yang masih mampu membuat saya teriak-teriak heboh dan awww-ed, tapi banyak juga yang akhirnya membuat saya hanya membaca sambil pasang ekspresi (=___=). Sayangnya, Refrain ini termasuk kategori yang terakhir. Saya sudah berharap akan ada sesuatu dalam cerita yang akan ada di luar ekspektasi dan prediksi saya, tapi pada akhirnya semuanya berjalan tanpa kesan di kepala saya.
Karakter Niki, Nata, dan Annelise (juga karakter lain) tidak meninggalkan kesan apa pun di hati saya, dan ada kalanya karakter mereka terlalu mengada-ada dan tidak membumi. Saya sudah cukup menyukai ketika Niki digambarkan sebagai karakter yang mengincar popularitas dari teman-teman cheers-nya, tapi kemudian penulis justru tidak memainkan kartunya dengan baik. Alih-alih mengeksplor karakter unik Niki (obsesinya menjadi populer, obsesinya menjadi remaja gaya) justru di tone down oleh penulis yang di tengah cerita tiba-tiba memberi pembaca informasi bahwa cewek yang mengejar popularitas seperti Niki pun ternyata bisa juga, lho, jadi anak baik yang gemar menolong sesama. Oh please, why so pretentious and being all goody-two-shoes?
Outro
Saya yakin, begitu saya mengembalikan buku ini, dalam dua-tiga bulan ke depan saya akan melupakan siapa nama-nama tokoh dalam novel Refrain ini. Tentu, novel ini enak dibaca sebagai bacaan ringan--banget, sampai saya hanya menyelesaikannya dalam waktu beberapa jam, yang biasanya pertanda buruk bagi mereka yang mengenal kebiasaan membaca saya. Saya pun suka dengan gaya penulisan Mbak Winna. Enak banget dibaca, sungguh. Dengan plot dan tema yang lebih dieksplor, mungkin Mbak Winna bisa menjadi novelis yang keren. Tapi tidak untuk Refrain ini.
p.s. Rasanya saya jadi pengin rikues ke Gagas, plis novel-novelnya yang bisa buat disampul, dong! ;A;
p.s.s. Baca Refrain ini mengingatkan sama anime Toradora!--dan sialnya lebih keren anime satu itu.
Refrain
Satu hal yang saya suka dari penulis-penulis mainstream-romance gagas adalah penggunaan bahasa mereka yang ringan dan lugas sekaligus. Winna Efendi juga demikian. Kata-katanya mengalir efektif tanpa banyak jargon-jargon yang membingungkan. Proporsi antara deskripsi dan dialog diramu dengan pas hingga kecepatan cerita juga mengalir dengan enak tanpa harus terkesan terlalu cepat pindah scene atau terlalu bertele-tele. Saya akui saya sangat suka membaca tulisan Mbak Winna yang mengalir, membuat saya tidak perlu terhenti cukup lama di satu tempat karena bosan. Dan memang akhirnya novel ini bisa saya selesaikan dalam waktu beberapa jam saja.
Masalahnya, potensi dalam penulisan tidak diimbangi dengan pemilihan tema cerita. Membaca Refrain, yang muncul di kepala saya adalah.... anime? Plotnya sungguh khas anime shojo (anime cewek) yang memiliki setting di sekitaran sekolah, bahasannya berputar di sekitar persahabatan dan cinta-segi-ruwet. Setting ceritanya tidak terasa Indonesia-nya sama sekali, dan lebih merasa kalau sekolahnya Niki dkk. adalah sekolah Jepang atau Amrik. Lagipula, di awal bab ditulis bahwa mereka tengah libur musim panas.... yang tentunya tidak ada di Indonesia--di Indonesia adanya cuma libur semesteran, libur lebaran, libur tahun baru, dll., nggak ada yang namanya libur musim kemarau atau libur musim hujan atau libur musim yang lain.
Lalu masalah karakternya. Juga stereotipe tokoh anime/manga shojo. Cewek cheers yang selalu energetik dan polos? Cowok cuek yang ogah main dengan cewek--dan sekalinya mau bersahabat dengan perempuan langsung jatuh hati? Cewek anak tunggal seorang kaya yang kesepian? Cowok jagoan olahraga dengan senyum menawan--dan juga kaya raya--yang bisa memilih cewek yang lebih baik tapi akhirnya memilih cewek yang biasa saja? Cewek ketua cheers yang mementingkan popularitas serta selalu iri hati pada orang-orang yang mencuri panggungnya? Shojo, yes. Teenlit, yes. Kehidupan sosialita yang pretensius, yes. Klise, of course.
Sebenarnya saya tidak ada masalah dengan klise, selama hal itu bisa diolah dengan apik. Ada banyak cerita klise yang masih mampu membuat saya teriak-teriak heboh dan awww-ed, tapi banyak juga yang akhirnya membuat saya hanya membaca sambil pasang ekspresi (=___=). Sayangnya, Refrain ini termasuk kategori yang terakhir. Saya sudah berharap akan ada sesuatu dalam cerita yang akan ada di luar ekspektasi dan prediksi saya, tapi pada akhirnya semuanya berjalan tanpa kesan di kepala saya.
Karakter Niki, Nata, dan Annelise (juga karakter lain) tidak meninggalkan kesan apa pun di hati saya, dan ada kalanya karakter mereka terlalu mengada-ada dan tidak membumi. Saya sudah cukup menyukai ketika Niki digambarkan sebagai karakter yang mengincar popularitas dari teman-teman cheers-nya, tapi kemudian penulis justru tidak memainkan kartunya dengan baik. Alih-alih mengeksplor karakter unik Niki (obsesinya menjadi populer, obsesinya menjadi remaja gaya) justru di tone down oleh penulis yang di tengah cerita tiba-tiba memberi pembaca informasi bahwa cewek yang mengejar popularitas seperti Niki pun ternyata bisa juga, lho, jadi anak baik yang gemar menolong sesama. Oh please, why so pretentious and being all goody-two-shoes?
Outro
Saya yakin, begitu saya mengembalikan buku ini, dalam dua-tiga bulan ke depan saya akan melupakan siapa nama-nama tokoh dalam novel Refrain ini. Tentu, novel ini enak dibaca sebagai bacaan ringan--banget, sampai saya hanya menyelesaikannya dalam waktu beberapa jam, yang biasanya pertanda buruk bagi mereka yang mengenal kebiasaan membaca saya. Saya pun suka dengan gaya penulisan Mbak Winna. Enak banget dibaca, sungguh. Dengan plot dan tema yang lebih dieksplor, mungkin Mbak Winna bisa menjadi novelis yang keren. Tapi tidak untuk Refrain ini.
p.s. Rasanya saya jadi pengin rikues ke Gagas, plis novel-novelnya yang bisa buat disampul, dong! ;A;
p.s.s. Baca Refrain ini mengingatkan sama anime Toradora!--dan sialnya lebih keren anime satu itu.
tokoh2nya nanggung yah? belum pernah baca karya Winna.
ReplyDeleteJargon2 yg membingungkan, skrg lagi sering ketemu tuh sama karya lokal, maksudnya mau buat kalimat berbunga-bunga malah jatuhnya "apaan sih maksudnya, muter-muter ui"
Dibanding nanggung... lebih tepatnya "too plain", sih. Nggak ada istimewanya, nggak ada yang memorable dari tokoh-tokohnya--maupun quote-quotenya. Tapi katanya memang novel ini bukan yang terbaiknya, sih. (tapi kenapa yang ini yang difilmkan?)
DeleteHaha. iya. buku-buku sekarang banyak yang pake jargon sok romantis tapi kadang justru mbleset jauh dari efek yang diharapkan.
Aku juga ga suka karya Winna yang ini kak :/
ReplyDeleteWell, aku nyaris ga suka semua novel remaja Winna sih karena biasa aja
Kalau mau yang beda itu, Unforgettable sama Melbourne, tulisan Winna lebih dewasa dan lebih tidak stereotipe
sama yu :) gue dapet kesan lagi baca komik shojo dalam bentuk novel kalau lagi baca karya Winna :)
ReplyDelete