Hari terakhir! Dan saya hampir lupa postingnya karena hectic degan tugas sendiri. orz
Jadi, sesuai dengan apa yang saya tulis dalam postingan kemarin bahwa di hari terakhir ini saya akan membahas mengenai buku yang membuat saya mengidentifikasikan diri saya sebagai seorang feminis. Buku itu adalah Feminist Thought karangan Rosemarie Tong.
Buku ini sebenarnya adalah buku modul saat saya mengambil kelas lintas fakultas Paradigma Feminis. Saya mengambil kelas ini karena awalnya tertarik dengan isu gender dan seksualitas yang saya pertama saya temui dalam isu mengenai LGBT--berkaitan dengan postingan hari keempat. Sebelum mengambil mata kuliah ini saya pernah membaca beberapa buku feminisme, dan sedikit merasa jengah dengan apa yang disampaikan dalam buku tersebut. Dalam banyak literatur feminis, kelihatannya perempuan yang disebut feminis adalah mereka yang menjurus pada kata 'bitch', dengan segala protes persamaan hak mereka dan umbaran seksualitas dan kemandirian--dengan simbolisasi pembakaran bra--yang menurut saya terlalu vulgar. Terlebih lagi ketika saya berdiskusi dengan teman laki-laki di kampus yang mengatakan, "Cewek minta emansipasi, tapi kalau dikasih persamaan malah kembali minta dihargai 'keperempuanannya'." Jujur, saya setuju sekali dengan pendapat teman-teman saya. Banyak perempuan yang minta kompetensi mereka diakui sejajar dengan laki-laki, tapi begitu mengangkat beban berat sedikit langsung, "eh, bantuin dong! Kan gue cewek!" Apalagi, yang sering membuat saya sebal adalah ketika ada perempuan yang masih muda dan sehat meminta diberikan tempat duduk di angkutan umum karena "dia cewek". Emansipasi, really?
Nyatanya, begitu membaca buku ini dan belajar di kelas tersebut, saya jadi memahami bahwa emansipasi dan feminisme yang sering dianut banyak perempuan sekarang ini justru bentuk penyelewengan dari kata emansipasi dan feminisme itu sendiri. Saya diajari bahwa menjadi feminis bukanlah (hanya) mereka yang protes meminta persamaan kedudukan, tapi juga bagi setiap perempuan yang peduli akan kesejahteraan kaumnya--dan juga kaum laki-laki--yang tertindas oleh budaya patriarki yang mengekang. Dan bukan hanya perempuan, laki-laki pun bisa menjadi feminis, jika mereka menginginkan suatu bentuk pembebasan dari budaya patriarki yang juga telah mengikat mereka dengan budaya maskulinitas dan testoteron serta tanggungjawab yang berlebihan.
Buku ini membahas secara sistematis mengenai perkembangan gerakan feminisme, mulai dari pembentukan alirannya yang disokong oleh feminis liberal dan memiliki tujuan 'mempersamakan' kedudukan antara laki-laki dan perempuan hingga ke gerakan terbarunya yang disebut gerakan feminis gelombang ketiga, yang di dalamnya juga termasuk gerakan feminis posmodern yang membahas mengenai pencitraan perempuan dalam karya seni dan feminis eksistensialis yang lebih menitikberatkan pada persoalan 'eksistensi' perempuan dan mendefinisikan ulang peran perempuan dalam masyarakat. Dari buku ini juga--sekaligus dengan ceramah dosen Feminis saya yang kece--saya mendapat pencerahan bahwa gerakan feminisme mempunyai banyak cabang yang memiliki tujuannya masing-masing. Pengertian feminisme yang ada di masyarakat sekarang ini adalah bentuk penyempitan makna feminisme hanya pada satu aliran. Meskipun demikian, kita tidak bisa semena-mena menyingkirkan definisi tersebut, karena definis itu juga termasuk ke dalam gerakan feminisme. Hanya saja, kita bisa memilih aliran feminisme mana yang akan kita gunakan untuk memecahkan masalah.
Sejak saat itu saya menyadari bahwa menjadi feminis bukanlah mutlak membakar beha atau memprotes persamaan derajat. Musuk utama feminisme bukanlah laki-laki, melainkan budaya patriarki yang memberikan jenjang sosial yang membuat laki-laki dan perempuan seakan dua jenis makhluk yang berada di dua kutub yang berseberangan.
Ketika mengetahui hal tersebut, saya mulai dapat mengatakan pada orang lain bahwa saya adalah seorang feminis, seseorang yang bergerak atas nama kesejahteraan gender dan seksualitas. Saya mulai mengambil magang di yayasan pemerhati perempuan, juga mulai banyak melakukan penelitian berbasis gender. Pun ke depannya, saya ingin bekerja dalam sebuah lembaga yang mengusung isu gender dan seksualitas.
Saya adalah seorang feminis dan LGBT-supporter, dan saya dapat dengan bangga mengakuinya.
Jadi, sesuai dengan apa yang saya tulis dalam postingan kemarin bahwa di hari terakhir ini saya akan membahas mengenai buku yang membuat saya mengidentifikasikan diri saya sebagai seorang feminis. Buku itu adalah Feminist Thought karangan Rosemarie Tong.
Buku ini sebenarnya adalah buku modul saat saya mengambil kelas lintas fakultas Paradigma Feminis. Saya mengambil kelas ini karena awalnya tertarik dengan isu gender dan seksualitas yang saya pertama saya temui dalam isu mengenai LGBT--berkaitan dengan postingan hari keempat. Sebelum mengambil mata kuliah ini saya pernah membaca beberapa buku feminisme, dan sedikit merasa jengah dengan apa yang disampaikan dalam buku tersebut. Dalam banyak literatur feminis, kelihatannya perempuan yang disebut feminis adalah mereka yang menjurus pada kata 'bitch', dengan segala protes persamaan hak mereka dan umbaran seksualitas dan kemandirian--dengan simbolisasi pembakaran bra--yang menurut saya terlalu vulgar. Terlebih lagi ketika saya berdiskusi dengan teman laki-laki di kampus yang mengatakan, "Cewek minta emansipasi, tapi kalau dikasih persamaan malah kembali minta dihargai 'keperempuanannya'." Jujur, saya setuju sekali dengan pendapat teman-teman saya. Banyak perempuan yang minta kompetensi mereka diakui sejajar dengan laki-laki, tapi begitu mengangkat beban berat sedikit langsung, "eh, bantuin dong! Kan gue cewek!" Apalagi, yang sering membuat saya sebal adalah ketika ada perempuan yang masih muda dan sehat meminta diberikan tempat duduk di angkutan umum karena "dia cewek". Emansipasi, really?
Nyatanya, begitu membaca buku ini dan belajar di kelas tersebut, saya jadi memahami bahwa emansipasi dan feminisme yang sering dianut banyak perempuan sekarang ini justru bentuk penyelewengan dari kata emansipasi dan feminisme itu sendiri. Saya diajari bahwa menjadi feminis bukanlah (hanya) mereka yang protes meminta persamaan kedudukan, tapi juga bagi setiap perempuan yang peduli akan kesejahteraan kaumnya--dan juga kaum laki-laki--yang tertindas oleh budaya patriarki yang mengekang. Dan bukan hanya perempuan, laki-laki pun bisa menjadi feminis, jika mereka menginginkan suatu bentuk pembebasan dari budaya patriarki yang juga telah mengikat mereka dengan budaya maskulinitas dan testoteron serta tanggungjawab yang berlebihan.
Buku ini membahas secara sistematis mengenai perkembangan gerakan feminisme, mulai dari pembentukan alirannya yang disokong oleh feminis liberal dan memiliki tujuan 'mempersamakan' kedudukan antara laki-laki dan perempuan hingga ke gerakan terbarunya yang disebut gerakan feminis gelombang ketiga, yang di dalamnya juga termasuk gerakan feminis posmodern yang membahas mengenai pencitraan perempuan dalam karya seni dan feminis eksistensialis yang lebih menitikberatkan pada persoalan 'eksistensi' perempuan dan mendefinisikan ulang peran perempuan dalam masyarakat. Dari buku ini juga--sekaligus dengan ceramah dosen Feminis saya yang kece--saya mendapat pencerahan bahwa gerakan feminisme mempunyai banyak cabang yang memiliki tujuannya masing-masing. Pengertian feminisme yang ada di masyarakat sekarang ini adalah bentuk penyempitan makna feminisme hanya pada satu aliran. Meskipun demikian, kita tidak bisa semena-mena menyingkirkan definisi tersebut, karena definis itu juga termasuk ke dalam gerakan feminisme. Hanya saja, kita bisa memilih aliran feminisme mana yang akan kita gunakan untuk memecahkan masalah.
Sejak saat itu saya menyadari bahwa menjadi feminis bukanlah mutlak membakar beha atau memprotes persamaan derajat. Musuk utama feminisme bukanlah laki-laki, melainkan budaya patriarki yang memberikan jenjang sosial yang membuat laki-laki dan perempuan seakan dua jenis makhluk yang berada di dua kutub yang berseberangan.
Ketika mengetahui hal tersebut, saya mulai dapat mengatakan pada orang lain bahwa saya adalah seorang feminis, seseorang yang bergerak atas nama kesejahteraan gender dan seksualitas. Saya mulai mengambil magang di yayasan pemerhati perempuan, juga mulai banyak melakukan penelitian berbasis gender. Pun ke depannya, saya ingin bekerja dalam sebuah lembaga yang mengusung isu gender dan seksualitas.
Saya adalah seorang feminis dan LGBT-supporter, dan saya dapat dengan bangga mengakuinya.
bener banget, bakar beha mah feminis dalam arti sempit. Saya tipe yang old fashioned, Suka chivalry dan gentleman ala cowok. Tapi menghargai kebebasan pribadi.
ReplyDelete