Judul : Bumi: Empat Jiwa Meniti Satu Nadi
Penulis : Cynthia Febrina
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun cetakan : 2013
Jenis : Paperback
ISBN : 9786020220598
Rating : 2/5
Karena ini novel hasil dapet buntelan BBI dari Mas Dion, jadi entah kenapa saya merasa saya perlu memasukkan foto buku asli punya saya, sekalian sebagai tanda bukti kalau, "nih, Mas, bukunya sudah sampai dan sudah selesai dibaca dan masih bagus kaaaaaan~" #dikeplak
Jadi, saya ini bukan tipe orang yang "judge a book by its cover". Saya mah cover-nya mau buluk juga, selama saya tertarik, ya saya baca aja. Sialnya, saya ini masihlah tipe orang yang "judge a book by its title". Karena itu saya memilih buku ini saat Mas Dion memberikan list buku-buku buntelan. Dari judulnya, saya dapat menangkap kesan sastranya, seolah buku ini menjanjikan sebuah karya sastra yang agak jadul dalam kepenulisan, tapi plotnya mantap dan penuh dengan renungan hidup ala-ala cerpen minggu Kompas. Makanya sekali lihat, saya langsung pilih buku ini. Tapi angan-angan saya dengan mudah diruntuhkan oleh seorang teman saya--mari kita sebut si Y--dengan komentarnya saat saya membawa buku ini ke kampus (ya, saya ini seorang book-clutcher, pergi ke mana-mana pasti ada buku di tangan karena saya selalu baca buku di perjalanan rumah-kampus, atau rumah-anywhere, yang jaraknya cukup jauh). Dan ini hasil perbincangan kami:
Y : (masuk ke kelas, duduk di sebelah saya, melirik novel yang saya pegang) "Bagus, ya, kavernya. Tentang apa?"
A : (kasih bukunya ke dia) "Baru mulai baca, Y. Katanya, sih, tentang persahabatan gitu."
Y : "Hmmm...." (bolak-balik bukunya sekilas, lalu dikembalikan ke saya) "Kavernya bagus, judulnya juga. Tapi novel Indonesia jaman sekarang itu banyakan menipu. Bahkan sinopsis di belakang buku aja sekarang banyak diotak-atik dan dibuat ambigu, dibuat puitis tanpa menjabarkan apa isi bukunya, dan ternyata begitu dibaca isinya memble."
A : *stabb* *jlebb* *ketohok* (cuma bisa nyengir)
Y : Semoga buku yang ini nggak begitu. (dia tepok bahu saya, lalu kelas pun dimulai)
Lalu dengan keyakinan yang sedikit runtuh (tsaaaah) akhirnya saya kembali membaca buku ini--setelah kelas selesai, tentunya.
Empat Jiwa
Kenapa saya merasa tertohok dengan ucapan teman saya itu? Jawabannya ada di blurb novel ini:
Tarik napas, dan lihat sekelilingmu dengan seksama.
Ketika dunia menggila, selalu ada celah
untuk sejenak bersembunyi dan beristirahat.
Buang napas, dan hapus air mata.
Ketika tempat persembunyianmu terlalu gelap, selalu ada pintu
yang menunggumu untuk melangkahkan kaki keluar darinya.
Tersenyum, dan sambut tangan mereka.
Ketika dunia berkonspirasi untuk menundukkanmu, ingat
selalu ada mereka yang menyambutmu dengan senyum yang sama.
Dan bumi pun masih berputar, seiring kakimu melangkah,
seiring cinta dan persahabatan menemukan porosnya.
Jadi, apa yang bisa disimpulkan dari blurb di atas? Tokoh-tokohnya? No. Jalan ceritanya? No. Latar kisahnya? Noooooo. Apa sebenarnya cerita di dalam buku ini? Saya coba bikin sinopsis singkatnya tentang apa yang terjadi dalam novel ini, ya.
Novel Bumi ini berkisah mengenai empat orang sahabat yang dipertemukan dalam sebuah organisasi pers mahasiswa, yaitu "Buletin Bergerak". Sejak pertama masuk hingga tiga tahun keanggotaan mereka di dalam organisasi tersebut, mereka bersahabat akrab, meskipun dalam hati masing-masing, mereka sebenarnya saling iri dengan "kesempurnaan" hidup teman-temannya yang lain. Mereka adalah empat anak dengan kepribadian berbeda--ala Avatar: The Legend of Aang atau ala ramalan peruntungan Cina--dengan masalah hidup mereka masing-masing.
Aghniya, sang api, adalah cewek seksi nan kenes yang menjadi ikon perempuan urban masa kini--bawa mobil sendiri, cerewet, genit, dan suka memakai pakaian 'terbuka' (kata penulisnya). Teman-temannya mengira Aghni sebagai simbol perempuan modern yang bebas, walau sebenarnya keluarganya tengah bermasalah dengan keberadaan Dimas, kakak laki-laki Aghni, yang 'sakit' (lagi-lagi kata penulisnya). Kenn, sang air, adalah sosok cowok idaman setiap wanita; dia bawa-bawa BMW, macho, ganteng, dan pintar--pokoknya gary stu banget lah--walau di tengah malam, dia selalu menjelma menjadi sosok lain--tapi tetap jadi cowok beken 'normal' (kata penulisnya) at the heart, kok, jangan khawatir. Windy, sang angin, terlihat sebagai gadis lembut di luar,
Bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka masing-masing? Dan apa yang terjadi jika kesempurnaan yang saling mereka irikan menyibakkan kebenaran di hadapan mereka?
Meniti....
Idealis. Superfisial. Patriarkal.
Jika saya disuruh menyimpulkan novel ini dalam tiga kata, ketiga hal di atas itulah yang akan saya sebutkan, dan semuanya adalah masalah pengangkatan tema. Idealis, karena dalam novel ini Cynthia memasukkan cukup banyak--kalau tidak mau dibilang banyak sekali--isu sosial yang dapat kita temui di masyarakat, seperti jurnalisme, isu pendidikan, KDP (kekerasan dalam pacaran), isu psikologis, seksualitas, dan isu tanggung jawab moral. Banyaknya konten isu sosial ini dikemas dengan pola pikir yang menurut saya 'anak kuliahan banget', dengan hitam-putih sebagai dasar pemikiran dan gaya penyampaian yang, dare I say, menghakimi. Istilahnya seperti anak yang baru pertama kali mengenal bahwa ternyata di dunia ini banyak, lho, isu sosial yang tidak diketahui orang, dan dia sangat bersemangat--dengan menggebu-gebu--berusaha memasukkannya ke dalam naskahnya supaya kelihatan bahwa, "hei, nih lihat, gue mengerti banyak isu sosial yang nggak terpikirkan sama sebagian besar orang, lho!" atau "Gue baruuuu aja tahu isu tentang ini, lho, guys! Sini, sini, gue ceritain pendapat gue tentang isu tersebut!".
Biasanya semangat macam ini saya temukan pada aktivis-aktivis kampus yang masih aktif. Karena itu saya jadi penasaran, lagipula nama penulisnya semacam familiar di telinga saya--saya seperti pernah mendengar namanya entah di mana. Dari profilnya, ternyata anak kampus saya juga. Oke. Dan begitu mencoba sedikit mengecek database (mantan) organisasi saya, oh, ternyata memang anak persma kampus--organisasi yang juga pernah saya geluti selama setahun sebelum saya mengundurkan diri karena alasan personal. Oke, jadi wajar saja kalau naskahnya idealis begini, hasil pengalaman rupanya. Bagus, bagus. Saya juga masih begini, kok. #pengakuan #darahmuda
Sayangnya, menurut saya isu sosial yang dimasukkan dalam novel ini terlalu penuh berjejal, membuat naskah rasanya sesak oleh konflik. Lagi-lagi, inilah yang saya maksud dengan semangat menggebu anak kuliahan yang baru saja mengenal isu sosial. Karena baru mengetahui banyak jenis isu, dia memasukkan semua isu tersebut ke dalam naskah sesuai dengan apa yang dia tahu, tanpa mempelajari dan mengolah isu yang dimasukkan ke dalam cerita lebih dalam. Quantity over quality. Isunya banyak, tapi kurang dieksplorasi hingga rasanya pembaca cuma sekadar tahu mengenai isu tersebut, tapi tidak menghayati mengenai isu itu sendiri. Thus, superficial. Penulis menurut saya hanya sekedar menebarkan isu sosial dan membahasnya secara umum tanpa berniat untuk melakukan riset dan argumentasi-argumentasi pendukung atas tulisannya.
Saya gagal bersimpati pada keempat tokoh utama di novel ini, karena selain penggalian isunya tidak dalam, alasan pemberian karakter dan masalah pada suatu tokoh seringkali saya rasa tidak kuat. Dari keempatnya, yang saya rasa paling pas eksekusi masalahnya adalah isu Windy, disusul dengan Doton. Aghni dan Kenn--terutama sekali Kenn--masih sering saya temukan inkonsistensinya dalam sifat maupun persepsi atas konflik yang mereka hadapi. Mungkin saya akan lebih menghargai jika penulis hanya membeberkan satu masalah besar yang memang digali masalahnya dengan argumentasi pro dan kontra umum tentang konflik tersebut, lalu kemukakan pendapat penulis dengan tetap memasukkan argumen lain agar opini dalam naskah bisa seimbang. Oh come on, mahasiswa seharusnya tahu lah, cara membangun argumentasi, apalagi jurnalis.
Masalahnya, yang saya temukan di sini sebagian besar lebih seperti penulis memasukkan isu hanya untuk menampung dan memberitahukan kepada dunia apa pendapatnya tentang isu tersebut tanpa memberi tandingan atas pendapatnya. Istilahnya, kalau dalam bentuk esai, naskah ini cuma murni opini penulis terhadap isu. Apakah dalam novel tidak boleh mengemukakan pendapat? Tentu boleh, hanya saja patut diperhatikan juga argumen penyandingnya, serta sensifitas isu yang diangkat. Sialnya, penulis memilih untuk main di ranah isu sensitif tanpa memikirkan apakah pendapatnya sendiri sensitif terhadap isu yang dimainkannya. Isu KDP/KDRT, feminisme, dan isu LGBT yang diangkat dalam novel ini adalah mainan berbahaya, lho, sebenarnya. Zona licin yang suka bikin kepleset dan bisa mendatangkan reaksi keras jika ditanggapi dengan pola pikir patriarkal atawa konvensional. Salah satu reaksi keras itu datang dari saya. Please, beware.
Dalam novel ini ada kecenderungan pandangan patriarki yang tidak bisa saya temukan alasan penetralannya dan seringkali membuat saya marah. Contohnya:
"Perempuan dengan penampilan seksi seperti dia rasanya tidak baik sudah berada di luar sepagi ini. Yah, mungkin kalau Aghniya berpakaian dengan lebih tertutup tidak jadi masalah. Seenggaknya, laki-laki di luar sana tidak perlu disuguhkan dengan pemandangan "segar" seperti yang biasa perempuan ini lakukan." - Doton (hal. 26)
(eh, terus apa hubungannya 'perempuan nggak baik keluar terlalu pagi' sama 'memberikan angin segar laki-laki' karena pakai baju seksi? Kalau maksudnya dengan pakaian seksi Aghni bisa jadi sasaran penjahat, ya elah, Mas, boro-boro cewek seksi. Emak-emak pake daster panjang dari leher sampe mata kaki mau pergi belanja juga ada noh yang jadi sasaran kejahatan. Cewek-cewek pake kerudung panjang yang diperkosa juga nggak dikit. Perlu data? Monggo lah dateng ke yayasan pemerhati perempuan, ada noh datanya. Plis deh. You've got the wrong, and old, side of view, broh. Umur berapa masbro? Masih muda dan ngakunya anak urban serta jurnalis pemerhati isu sosial kok pemikiran kayak bapak-bapak mesum--eh emang dia udah jadi bapak, ya, okelah dimaafkan)
"Betty itu seperti bunglon.
Satu detik ia bisa bersikap laki banget, detik berikutnya ia bisa lebih manja dari Aghni. Aku geli sekali melihat tingkah Betty. Membayangkan kalau suatu hari ia berubah menjadi cowok betulan. Betty pasti akan sama gelinya denganku ketika suatu hari melihat dirinya yang sekarang.
Mungkin, kalau dia bisa sembuh." - Kenn (hal. 55)
(jadi kaum LGBT itu 'sakit'. Hmmm.... sabar, deh, sabar. Nggak semua orang punya DSM IV atau V sehingga tahu kalau orientasi seksual dan orientasi gender itu bukan penyakit. Anyway, yang saya permasalahkan di sini cuma kalimat terakhirnya. Kalimat sebelumnya ditulis hanya untuk memberi gambaran situasi.)
"....Dimas jelas sakit." (dimiringin, guys! wohoo bravooo!)
"Ibu mana yang mau melihat anaknya diobati oleh seorang psikolog, Ni?"
....."Oke, tapi membiarkan anaknya sakit, bukankah itu tindakan yang bodoh?" tanyaku menantang. - Aghni dan Ibu (hal.105)
(di sini saya marah. maaf, tapi saya seorang mahasiswa psikologi dan setiap tulisan yang membuat orang salah kaprah mengenai psikologi selalu membuat saya marah. Ini mbak penulis nggak punya teman anak jurusan psikologi kah di kampus atau organisasinya? Psikolog itu bahkan nggak bisa memberi obat, mbak, gimana caranya mau 'ngobatin' Dimas? Lagipula pelaku KDRT itu bukan sakit--sampai dimiringin bahkan--kali, mbak. Dia cuma punya masalah emosi dan agresivitas. Bukan berarti dikasih obat langsung slep sembuh. Emangnya pilek? Aduh plis dong kalau mau masukin komentar macam ini jangan sampai menyinggung suatu pihak. Saya tersinggung, lho, untuk kali ini. Maaf ya. Dan maaf sekali lagi, sekarang udah jamannya justru banyak orangtua yang sedikit-sedikit bawa anaknya ke psikolog, lho, mbak. Serius.)
"Gue nggak berniat sedikit pun mempermalukan Dimas dengan membawanya ke seorang psikolog." - Aghni (hal. 115)
(menghela napas lelah)
"Iya, Ni. Karena gue hampir nggak punya waktu untuk keluarga gue. Terus mantan istri gue nggak tahan dan akhirnya dia selingkuh. Mungkin salah gue juga terlalu sering meninggalkannya. Jadi sekarang kalaupun menikah lagi, gue nggak akan jadi wartawan, Ni. Perempuan itu butuh dilindungi, gue tahu, kok." - Icul (hal. 149)
(Perempuan itu butuh dilindungi. Lo tempe, Cul, bukan tahu. *lempar Icul ke laut selatan*)
dan untuk penutupan....
"'Ayahku laki-laki, Win. Tapi realitas membuatnya menjadi orang lain. Aku berani taruhan, pria jadi-jadian yang biasa kamu lihat di pasar malam, yang bisa dibilang sepertiku sekarang, tak ada satu pun di antara mereka meminta untuk dilahirkan tidak normal."
"Apa kamu normal, Kenn?"
......
Kenn
Kalau aku tidak normal bagaimana mungkin aku bisa menyayangimu seperti ini, Win?
Windy
Kalaupun kamu normal......" - Kenn dan Windy (hal. 205-206)
(normal....
normal....
normal....
Iya, gue tau kalian pasangan hetero yang lagi jatuh cintrong tapi plis pake term heteroseksual atau straight aja napa, sik? Saya sebagai anak psikologi, sekali lagi, selalu diwanti-wanti untuk berhati-hati melabel seseorang. Bahkan kami nggak boleh bilang 'anak autis' atau 'anak cacat'. Maaf, karena ini saya sewot sama masalah term-term yang bisa menimbulkan label. Tolong sensitif jika memang ingin mengangkat isu yang sensitif, pelajari dulu, jangan asal main hajar aja masukin label salah di dalam tulisan)
Udah panas, nih. Cukup deh MST-ing novel ini. Kita beranjak ke perkara berikutnya.
Masalah penulisan, sebenarnya sejak halaman prolog saya sudah agak gimanaaa gitu sama novel ini, karena saya bukan orang yang toleran terhadap mixed-lingo dalam deskripsi--makanya saya nggak kuat baca novelnya Mbak Ika Natassa. Saya bisa mentolerir mixed-lingo dalam percakapan, tapi kalau yang macam ini:
Gue bukan pengemudi yang baik, either. - Aghni (hal. xii)
No can do, missy, I'm sorry. Terlepas dari kenyataan bahwa saya juga pakai mixed-lingo di kehidupan sehari-hari--dan bahkan consciousness saya ngomong pake bahasa inggris, bayangkan--tapi untuk karya sastra atau fiksi saya cenderung tidak bisa mentolerirnya. Yaa tetep saya baca, sih, karena saya berusaha objektif (uhuk!), tapi kadar kenikmatan membaca saya jadi menurun ketika menemukannya.
Selain itu, saya kurang bisa mendapatkan gejolak emosi tokoh-tokoh di sini. Saya kira perkaranya adalah karena sudut pandang yang berpindah-pindah di antara keempat sahabat itu dan semuanya bertindak sebagai 'Aku' alias sudut pandang pertama. Mungkin perpindahan pov ini bisa lebih halus dan tidak terlalu mak jegagik (mencatut istilah co-author saya) jika sudut pandang keempat orang ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Tapi karena semuanya memakai sudut pandang orang pertama, jadi rasanya baru sejenak menghayati pov Aghni, misalnya, pembaca sudah dilempar ke kepalanya Kenn, lalu tiga paragraf, dilempar lagi ke dalam kepalanya Windy atau Doton--dan semua gaya bercerita mereka berbeda. Saya salut, sih, sama Cynthia yang berhasil menjadi empat kepala berbeda, tapi saya yang bacanya kok nggak enak ya rasanya. :/
Satu Nadi
Yah, masalah sebenarnya bukan pada naskahnya, tapi kepada paradigma dan pola pikir saya yang jauh bertolak belakang dengan apa yang disajikan oleh novel ini, yang menghalangi saya untuk menikmati novel ini secara penuh. Mungkin bagi mereka yang tidak mempermasalahkan hal-hal yang saya permasalahkan, buku ini bisa menjadi bacaan ringan tentang persahabatan yang menyenangkan. Ada beberapa kesalahan EYD dan diksi yang terkesan kagok, tapi selain itu menurut saya novel ini pantas mendapat 3-4 bintang. Tapi untuk saya pribadi yang mementingkan emosi dan kenyamanan saat membaca, maaf, saya hanya bisa memberi novel ini 2 bintang.
p.s. kalau ditaruh di goodreads kira-kira review ini bakal masuk kategori 'author behaving badly', nggak, ya? lol.
lawl, lumayan juga bisa diterbitin sama publisher besar :))
ReplyDeleteaku ngerti kok perasaanmu yuk bacanya, mungkin chyntia conserv? xD tapi aku gak ngerti ini ceritanya mau dibawa kemana :v
yah, penulisannya bagus, kok, menurutku. selain masalah mixed-lingo itu--tapi hei, Ika Natassa juga diterbitin penerbit besar walau dalam satu kalimat deskripsi bahasanya gado-gado.
DeleteKemungkinan besar memang penulisnya masih conserv kelas berat. Aku bakal nerima, mungkin, kalo tokoh-tokohnya memang tokoh konservatif, dan bukannya anak urban yang ciri-ciri karakternya menunjukkan kecenderungan pandangan liberal.
Dan jujur aja, aku yang baca sampe selesai juga ga ngerti, kok, inti cerita dari novel ini apa. entah memang intinya hanya masalah-masalah keempat orang tokoh utamanya atau ada masalah besarnya cuma aku nggak nangkep karena udah keburu emosi bacanya. :/
lah klo tokohnya gak lib ya dia gak bisa membenarkan opini kons-nya dong :v
DeletePffft. jadi gunanya tokoh lib itu biar kisahnya bisa jadi pembenaran opini ala-ala sinema Hidayah? :v
Deletebisa jadi :v
DeleteReview yang menyenangkan xD baru kali ini mampir ke blog ini, salam kenal ya :))
ReplyDeleteAduh, review begini kok dibilang menyenangkan, saya jadi tersapu. u/////u
Deletemakasih sudah mampir. salam kenal. :)
Menyenangkan buatku sik, tapi mungkin nggak buat penulisnya :D
Deletereview-reviewmu kece-kece deh :))
nggak buat penulisnya ya. hmm.... >.>
Deleteaduh terus dibilang kece pula. *nungging malu*
Wah Ayu kalau ripiu dalam. (kalau saya ripiu cuma buat senang-senang, makanya ada yg ala fanfic :D #abaikan) Mix-lingo Indonenglis masih mending, yuk. Saya waktu itu Korea dengan 8 1st person POV, mana eksekusinya mirip-mirip lagi. *dikeplak Ayu, curcol malah di sini. Tapi suka reviewnya. pakai hati dan emosi #eh
ReplyDeletereview saya kayak gali sumur dong. :'D mungkin karena sayanya aja yang terlalu serius--kata temen selalu gitu.
DeleteKorea dengan 8 1st pov.... turut berduka cita, mbak.... novel apaan itu? Ini saya review pake emosi kebetulan karena saya selama proses membaca udah beneran banting bukunya sampe sekitaran 5 kali... :'D