Judul : Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa (Majapahit #1)
Penulis : Langit Kresna Hariadi
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun cetakan : 2012
Jenis : Paperback
ISBN : 9786028811811
Rating : 3,5/5
Saya sangat menyukai seri Gajah Mada dari Pak LKH, tapi sewaktu saya berniat mengoleksinya, bersama seri Candi Murca, buku-bukunya kebanyakan sudah tidak beredar lagi. Sewaktu ingin tanya-tanya ke bapak penulisnya langsung tentang kedua seri tersebut, saya menemukan kalau LKH ternyata menerbitkan seri terbarunya, Majapahit. Karena saya suka Gajah Mada, sang mahapatih Majapahit itu, maka saya juga jadi berminat pada seri baru ini karena penasaran kisah apa yang akan diusung olehnya, mengingat sepertinya kondisi kerajaan Majapahit sudah cukup banyak terkaver dalam seri Gajah Mada. Jadi, dimulai dari manakah kisah kerajaan terbesar Indonesia ini?
Masa Kejatuhan Kerajaan Singasari
Tidak seperti dalam seri Gajah Mada yang berfokus pada Majapahit selama masa abdi Gajah Mada dari sebatas kepala pasukan Bhayangkara hingga menjadi mahapatih, seri Majapahit ternyata dimulai dari masa akhir Kerajaan Singasari saat berada dalam kekuasaan Raja Kertanegara. Seperti yang kita tahu--umumnya dalam pelajaran sejarah di sekolah--bahwa Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok setelah dia berhasil menjatuhkan Raja Kertajaya dan menguasai Kediri.
Kisah ini dimulai dengan perjalanan Raden Wijaya, keponakan dan calon menantu dari Raja Kertanegara, bersama mahapatih Singasari, Raganata, ke negeri Gelang-Gelang, yang juga dulunya diketahui sebagai Kerajaan Kediri. Raden Wijaya dan Raganata menyengajakan mampir ke Ganter, tempat terjadinya perang berdarah antara Kediri dan Tumapel pada masa Ken Arok. Di sana mereka menyaksikan pemandangan yang di luar akal sehat, berupa sepasukan kuda hantu dan juga hantu lampor yang berloncatan. Pemandangan itu menjadi firasat buruk bagi perjalanan Raden Wijaya ke Kediri. Dan memang sesampainya di sana, rombongannya sempat menyaksikan pagelaran latihan perang dalam skala yang begitu besar. Begitu ditelisik, ternyata latihan perang tersebut adalah perwujudan dari rencana pemberontakan Kediri atas dasar dendam lama kepada Singasari.
Jayakatwang, raja Kediri saat itu, dan patihnya, Kebo Mundarang, segera diminta menghadap ke Singasari setelah rencana mereka ketahuan. Namun mereka berhasil terhindar dari hukuman yang berat karena status Jayakatwang yang merupakan sepupu ipar Kertanegara. Jayakatwang dan Kebo Mudarang dibiarkan pulang ke Kediri dengan syarat mereka harus menyerahkan pasukan Kediri bentukan mereka untuk membantu Singasari dalam Ekspedisi Pamalayu. Tapi ternyata hukuman penarikan kekuatan tersebut tidak membuat Jayakatwang kehilangan akal untuk melaksanakan pembalasan dendamnya.
Dan di Singasari, keris Mpu Gandring yang telah berpuluh tahun lalu dilarung di kawah Gunung Penanggungan, tiba-tiba kembali ke istana, menyebarkan firasat buruk bagi kelangsungan kerajaan dirian Ken Arok tersebut.
Pemberontakan Jayakatwang
Awalnya, melihat judul serinya, Majapahit, saya mengira buku ini akan terfokus pada kerajaan Majapahit, tapi ternyata buku pertama ini semuanya tentang Singasari. Wajar, sebenarnya, karena judul buku pertama seri ini adalah Sandyakala Rajasawangsa--atau arti harfiahnya adalah "senja bagi keluarga Rajasa"--jadi tidak mengherankan jika kisahnya dimulai dari kejatuhan Singasari. Hanya saja tadinya saya mengira, tidak sampai sedominan ini--sampai satu buku, dan sepertinya buku kedua juga masih tentang Singasari.
Plotnya berjalan lambat, dengan ada banyak sudut pandang yang kadang terasa tidak perlu dan kisah yang seolah melompat-lompat. Sudut pandang bisa dengan mudah berubah-ubah dalam satu bab, seperti di awal dimulai dengan sudut pandang Raden Wijaya, tiba-tiba berpindah ke pemikiran Raganata, dan bisa tiba-tiba berpindah ke orang lain lagi. Cerita pun kadang terkesan tidak fokus. Akan sering ditemukan saat suatu scene tengah membahas tentang pemberontakan Kediri, sudut pandang akan berpindah kepada seseorang yang mulai melantur tentang cantiknya putri-putri Raja. Kecenderungan ini memang terjadi hampir di seluruh cerita buatan LKH, jadi mungkin sudah wajar bagi yang mengikuti karya-karyanya.
Dalam penulisan sendiri juga masih ditemui beberapa kekagokan yang sudah seringkali ditemukan--dan dikomentari--dalam karya-karya sebelumnya. Ada banyak frasa yang diulang-ulang untuk menjelaskan suatu emosi/aksi, seperti frasa "dada bergemuruh" untuk menjelaskan amarah, atau frasa "tanah bergoncang" untuk menjelaskan sesuatu yang menggemparkan. Hal ini menjadikan penulisan terkesan kaku dan tidak elaboratif. Selain itu, LKH juga memiliki kecenderungan untuk menjelaskan lagi hal yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, atau bahkan di beberapa halaman sebelumnya, hingga kadang mampu menimbulkan kebosanan serta kesan mubazir.
Dibandingkan dengan seri Gajah Mada--seri lain LKH yang saya ikuti--seri Majapahit ini lebih terasa "klenik"-nya. Jika seri Gajah Mada penuh dengan jurus-jurus silat, politik, dan taktik perang yang keren, seri Majapahit, setidaknya dalam buku pertama ini, lebih banyak berbicara tentang hantu-hantu, takhayul, dan aji-aji magis seperti sirep dan kekuatan untuk hidup abadi. Bisa jadi hal ini karena memang kisah tentang kerajaan sebelum Majapahit tidak memiliki data yang banyak, serta sumbernya masih hanya dari kitab Pararaton saja--yang memang penuh dengan nuansa mistis. Sementara dalam masa Majapahit ada sumber dari Negarakertagama yang konon datanya dianggap lebih objektif dan valid. Jadi bagi yang tidak menyukai kisah-kisah sejarah yang bercampur dengan takhayul dan klenik, mungkin tidak akan begitu menikmati kisah ini sebagaimana mereka menikmati seri Gajah Mada.
Meskipun begitu, kelebihan dari LKH adalah caranya meramu cerita menjadi menarik untuk dibaca dengan mengabaikan kekurangan-kekurangannya. Biasanya buku bermuatan sejarah seringkali ditulis dengan nuansa yang sangat kedaerahan. Tapi buku tulisan LKH diramu dengan nuansa kepenulisan modern yang ringan hingga mampu dicerna siapa saja. Selain itu, LKH juga mampu menyelipkan kata-kata dalam bahasa Jawa dengan baik di antara kalimat berbahasa Indonesia tanpa membuatnya terkesan ganjil. Ada cukup banyak cerita yang menggunakan sempilan kata-kata dalam bahasa daerah atau asing yang alih-alih membuat kesan daerah/asing menguat, justru malah terasa seperti kata yang nyempil dengan ganjil. Ini tidak terjadi pada tulisan LKH. Penyelipan-penyelipan kata-kata dalam bahasa Jawanya masuk dengan baik dan tidak mengganggu kenikmatan membaca sama sekali.
Selain itu, LKH mampu menghidupkan suasana era kerajaan dengan sangat baik. Pembaca bisa dengan mudah membayangkan bagaimana kehidupan pada masa itu tanpa perlu dibuat pusing oleh istilah-istilah jawa kuno. Membaca kisah Majapahit ini juga mampu membuat saya tertarik mempelajari kembali sejarah jaman kerajaan Hindu-Buddha Indonesia, terutama dari Singasari hingga Majapahit. Buku sejarah di sekolah tidak menjelaskan banyak mengenai kerajaan-kerajaan ini, hingga saya kira saya telah mengetahui yang sebenarnya. Padahal ketika mempelajarinya lagi, ternyata pada masa kerajaan-kerajaan tersebut masih banyak hal yang tidak pasti dan simpang-siur, dan semua teori mengenai kejadian-kejadian ataupun silsilah keturunan dalam masa kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai interpretasi yang menarik.
Senja Bagi Wangsa Rajasa
Jika membandingkan seri Majapahit dengan seri Gajah Mada, entah kenapa saya lebih menyukai seri Gajah Mada. Mungkin karena pada seri Gajah Mada sudah jelas fokusnya adalah sang Mahapatih tersebut, tokoh utamanya jelas dan arah ceritanya juga jelas. Sementara seri Majapahit ini tidak mempunyai tokoh utama yang jelas--mungkin Raden Wijaya, tapi sepertinya peran Kertanegara juga masih besar dalam buku pertama ini. Meskipun demikian, seri ini tetap menarik untuk dibaca, terutama bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai kerajaan yang menjadi contoh dari Nusantara yang kita kenal sekarang yang dikemas dalam bentuk ringan dan menarik.
Dan tentu saja, ke mana arah cerita seri ini selanjutnya patut untuk dinanti. Apalagi tentang kisah sepak terjang Raden Wijaya bersama pasukan kepercayaannya, Bala Sanggrama. Saatnya beralih membaca buku kedua Majapahit, Bala Sanggrama!
Plotnya berjalan lambat, dengan ada banyak sudut pandang yang kadang terasa tidak perlu dan kisah yang seolah melompat-lompat. Sudut pandang bisa dengan mudah berubah-ubah dalam satu bab, seperti di awal dimulai dengan sudut pandang Raden Wijaya, tiba-tiba berpindah ke pemikiran Raganata, dan bisa tiba-tiba berpindah ke orang lain lagi. Cerita pun kadang terkesan tidak fokus. Akan sering ditemukan saat suatu scene tengah membahas tentang pemberontakan Kediri, sudut pandang akan berpindah kepada seseorang yang mulai melantur tentang cantiknya putri-putri Raja. Kecenderungan ini memang terjadi hampir di seluruh cerita buatan LKH, jadi mungkin sudah wajar bagi yang mengikuti karya-karyanya.
Dalam penulisan sendiri juga masih ditemui beberapa kekagokan yang sudah seringkali ditemukan--dan dikomentari--dalam karya-karya sebelumnya. Ada banyak frasa yang diulang-ulang untuk menjelaskan suatu emosi/aksi, seperti frasa "dada bergemuruh" untuk menjelaskan amarah, atau frasa "tanah bergoncang" untuk menjelaskan sesuatu yang menggemparkan. Hal ini menjadikan penulisan terkesan kaku dan tidak elaboratif. Selain itu, LKH juga memiliki kecenderungan untuk menjelaskan lagi hal yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, atau bahkan di beberapa halaman sebelumnya, hingga kadang mampu menimbulkan kebosanan serta kesan mubazir.
Dibandingkan dengan seri Gajah Mada--seri lain LKH yang saya ikuti--seri Majapahit ini lebih terasa "klenik"-nya. Jika seri Gajah Mada penuh dengan jurus-jurus silat, politik, dan taktik perang yang keren, seri Majapahit, setidaknya dalam buku pertama ini, lebih banyak berbicara tentang hantu-hantu, takhayul, dan aji-aji magis seperti sirep dan kekuatan untuk hidup abadi. Bisa jadi hal ini karena memang kisah tentang kerajaan sebelum Majapahit tidak memiliki data yang banyak, serta sumbernya masih hanya dari kitab Pararaton saja--yang memang penuh dengan nuansa mistis. Sementara dalam masa Majapahit ada sumber dari Negarakertagama yang konon datanya dianggap lebih objektif dan valid. Jadi bagi yang tidak menyukai kisah-kisah sejarah yang bercampur dengan takhayul dan klenik, mungkin tidak akan begitu menikmati kisah ini sebagaimana mereka menikmati seri Gajah Mada.
Meskipun begitu, kelebihan dari LKH adalah caranya meramu cerita menjadi menarik untuk dibaca dengan mengabaikan kekurangan-kekurangannya. Biasanya buku bermuatan sejarah seringkali ditulis dengan nuansa yang sangat kedaerahan. Tapi buku tulisan LKH diramu dengan nuansa kepenulisan modern yang ringan hingga mampu dicerna siapa saja. Selain itu, LKH juga mampu menyelipkan kata-kata dalam bahasa Jawa dengan baik di antara kalimat berbahasa Indonesia tanpa membuatnya terkesan ganjil. Ada cukup banyak cerita yang menggunakan sempilan kata-kata dalam bahasa daerah atau asing yang alih-alih membuat kesan daerah/asing menguat, justru malah terasa seperti kata yang nyempil dengan ganjil. Ini tidak terjadi pada tulisan LKH. Penyelipan-penyelipan kata-kata dalam bahasa Jawanya masuk dengan baik dan tidak mengganggu kenikmatan membaca sama sekali.
Selain itu, LKH mampu menghidupkan suasana era kerajaan dengan sangat baik. Pembaca bisa dengan mudah membayangkan bagaimana kehidupan pada masa itu tanpa perlu dibuat pusing oleh istilah-istilah jawa kuno. Membaca kisah Majapahit ini juga mampu membuat saya tertarik mempelajari kembali sejarah jaman kerajaan Hindu-Buddha Indonesia, terutama dari Singasari hingga Majapahit. Buku sejarah di sekolah tidak menjelaskan banyak mengenai kerajaan-kerajaan ini, hingga saya kira saya telah mengetahui yang sebenarnya. Padahal ketika mempelajarinya lagi, ternyata pada masa kerajaan-kerajaan tersebut masih banyak hal yang tidak pasti dan simpang-siur, dan semua teori mengenai kejadian-kejadian ataupun silsilah keturunan dalam masa kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai interpretasi yang menarik.
Senja Bagi Wangsa Rajasa
Jika membandingkan seri Majapahit dengan seri Gajah Mada, entah kenapa saya lebih menyukai seri Gajah Mada. Mungkin karena pada seri Gajah Mada sudah jelas fokusnya adalah sang Mahapatih tersebut, tokoh utamanya jelas dan arah ceritanya juga jelas. Sementara seri Majapahit ini tidak mempunyai tokoh utama yang jelas--mungkin Raden Wijaya, tapi sepertinya peran Kertanegara juga masih besar dalam buku pertama ini. Meskipun demikian, seri ini tetap menarik untuk dibaca, terutama bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai kerajaan yang menjadi contoh dari Nusantara yang kita kenal sekarang yang dikemas dalam bentuk ringan dan menarik.
Dan tentu saja, ke mana arah cerita seri ini selanjutnya patut untuk dinanti. Apalagi tentang kisah sepak terjang Raden Wijaya bersama pasukan kepercayaannya, Bala Sanggrama. Saatnya beralih membaca buku kedua Majapahit, Bala Sanggrama!
Aku ngumpulin seri Gajah Mada LKH. Dulu pernah punya niat mau ngumpulin semua buku2 Pak LKH selain Gajah Mada. Tapi waktu itu terbatas dana. Dan sekarang mau ngumpulin yah seperti yang kamu bilang sudah jarang beredar buku2nya.
ReplyDeleteIya. bukunya LKH yang lain emang sekarang susah banget. Aku ngebet Candi Murca tapi karena itu self-published jadi ya....
DeleteYo
ReplyDeleteNovel ini termasuk jenis novel sejarah berdasarkan fakta sejarah atau sejarah fiksi ya kak
ReplyDeleteada yang tau info yg jual karya beliau CANDI MURCA KEN DEDES SANG ARDHANARESWARI?
ReplyDelete