Judul : Catatan Seorang Demonstran
Penulis : Soe Hok Gie
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Tahun cetakan : 2008
Jenis : Paperback
ISBN : 9793330333
Rating : 4/5
Sebenarnya buku ini sudah lama saya selesaikan, bahkan sudah beberapa kali saya baca ulang, tapi belum-belum saya review karena saya selalu menyelesaikannya dengan cara melompati beberapa entri, jadi saya memutuskan baru akan mengulasnya setelah saya benar-benar selesai membaca dari kover-ke-kover. Dan akhirnya hari ini, bertepatan dengan hari ulang tahun RI ke-68, saya berhasil benar-benar menyelesaikan membaca buku ini, yang juga menjadi salah satu buku sumber yang saya gunakan untuk penulisan esai untuk KEM Tempo Institute.
Soe Hok Gie adalah tokoh yang bak legenda di kampus saya yang sering disebut sebagai kampus perjuangan itu. Sebelum kuliah, saya tidak mengenal sama sekali tentang Soe Hok Gie ini--lagipula, apa yang saya kenal dari kehidupan biasa seorang anak sekolahan 'lurus' yang hanya mengenal ensiklopedia macam saya ini? Tapi begitu masuk ke kampus perjuangan, nama Soe Hok Gie seolah memenuhi balairung tempat mahasiswa baru berkumpul. Bahkan salah satu tugas ospek saya dulu adalah membuat esai tentangnya. "Supaya kalian mengerti makna perjuangan," kata senior waktu itu.
Dari tugas itu sedikit-banyak saya jadi mulai mengenal siapa Gie sang legenda ini. Saya mulai menonton filmnya, dan membaca ringkasan-ringkasan riwayat hidupnya. Lalu satu hal yang membuat saya akhirnya mengejar buku ini, yaitu ketika saya mengetahui bahwa Gie "mengidolakan" pemikiran untuk mati muda--dan memang dia mati muda. Seperti Chairil Anwar. Seperti banyak tokoh luar biasa yang juga mati muda. Dan saya juga menginginkannya.
"....keberuntungan pertama adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah mati muda...."
Waktu itu--bahkan sampai sekarang--saya adalah orang yang doyan meromantisir pergulatan kehidupan dan juga sebuah idealisme untuk mati muda dalam kejayaan. Mungkin saya sama seperti Shakespeare yang memuja tragedi, hanya saja fokus tragedi kami berbeda; Shakespeare pada tragedi percintaan, saya pada tragedi perjuangan hidup. Dan karena ternyata ada orang yang sepemikiran dengan saya, jadilah seketika saya jatuh cinta pada Gie. Untungnya, saya menemukan bukunya dengan mudah di toko buku kecil di dekat kampus--sebenarnya, dengan kampus yang selalu memuja perjuangannya, seharusnya memang tidak sulit menemukan bukunya, kan?
"Lebih baik disingkirkan daripada menyerah kepada kemunafikan."
Menurut teman saya, seorang dosen di fakultasnya pernah mengatakan bahwa ada tiga buku otobiografi yang wajib dibaca di Indonesia ini, yaitu Pergolakan Pemikiran Islam karya Ahmad Wahib, Hidup Tanpa Ijazah karya Ajib Rasidi, dan Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Selain buku ini, saya baru membaca sedikit Pergolakan Pemikiran Islam, semoga suatu saat bisa membuat review-nya juga. Dengan membaca dua dari tiga buku tersebut, saya mengerti alasan kenapa ketiga buku tersebut yang digadang sebagai otobiografi terbaik Indonesia. Dalam buku-buku tersebut terdapat semangat pembebasan yang revolusioner. Hanya dengan membaca jurnal harian Gie saja saya selalu bisa kembali tergerak untuk melakukan sesuatu, untuk kembali berjuang.
Jurnal-jurnal di bagian awal memang penulisannya terkesan berantakan. Wajar saja, entri pertama di buku ini adalah saat Gie masih berusia belasan. Saya sempat tersendat cukup lama di bagian ini karena penulisannya yang lucu. Tapi dengan mencermati pola pikirnya, sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa Gie memang seorang anak yang cerdas dan memiliki conscience sejak remaja. Sejak dini dirinya mengkritik sistem, mengkritik moral, dan mengkritik pemerintahan. Sangat sedikit anak yang bisa memikirkan hal-hal macam itu sejak usia muda. Kalau saya di usia itu... yang saya pikirkan sehari-hari adalah... animanga. (oke, wajar saya tidak--belum--jadi apa-apa sekarang ini)
Semakin dewasa pemikirannya semakin tajam dan kritis, namun dia selalu teguh kepada pendiriannya--berdasarkan kemanusiaan. Dia meyakini Marxisme dan percaya pada pergulatan kaum proletar tanpa perlu salah kaprah. Satu hal yang saya suka dari Soe Hok Gie, dan mencatut istilah dosen kelas Feminis saya, dia tidak berpihak, melainkan bersikap, dan Gie teguh pada sikapnya--demi kemanusiaan. Karena itu dia merasa jengah terhadap sikap teman-temannya yang dulu sama-sama berjuang menggulingkan pemerintahan, namun akhirnya justru belakangan mereka yang main politik setelah keadaan mereda. Jadinya terkesan terlalu idealis, memang, dan bagi saya sendiri sosok Gie adalah sosok seorang martir--dia yang dipuja sistem dan pemikirannya, namun jarang yang benar-benar mau dan bisa mengikuti jejak pemikirannya hingga ke kematian.
Pun demikian, bagi saya Soe Hok Gie tetaplah orang yang saya kagumi pola pikirnya. Saya pun ingin bisa seteguh Gie dalam bersikap, meskipun saya orangnya gampang ikut arus. Dan yang jelas, saya masih ingin mati muda. Buku ini selalu, dan masih akan selalu, menjadi penyemangat saya di saat saya merasa semangat pergulatan proletarian saya mengendur.
Salam dari salah satu pegulat kehidupan!
trima kasih ,buat pemikirannya
ReplyDeletesaya kira cuma saya yang ingin mati muda dengan 'tidak sia-sia':v
ReplyDelete