Judul : Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun cetakan : 2013
Jenis : Paperback
ISBN : 9789792296402
Rating : 5/5
Rating : 5/5
"Kau tahu mengapa ketika lahir kita tidak langsung menjadi diri kita yang sekarang?" - hal. 200
Itu adalah satu kalimat yang saya temukan di halaman 200 dan bagi saya menjadi kalimat yang menyimpulkan keseluruhan dari novel ini. Berkisah tentang tokoh Aku yang masih menyimpan perasaan pada teman masa kecilnya, Tuan Alien. Suatu hari, datang surat undangan pernikahan dari Tuan Alien, yang kemudian memicu tokoh Aku untuk mulai menuliskan surat bagi cinta masa lalunya. Berawal dari segala protesnya tentang dunia dan Tuan Alien, surat-surat itu pun perlahan berubah menjadi sebuah rekaman kehidupan seorang perempuan dalam kesendiriannya.
Mungkin ini akan menjadi sebuah ulasan yang bias. Bukan bias karena saya mengenal penulisnya, tapi bias karena saya sangat menyukai tulisan beraliran stream-of-consciousness seperti ini. Saya bias pada Proust, pada Haruki Murakami (yang mencampurkan gaya tulisan stream-of-consciousnessnya dengan aliran realisme-magis dan surealisme), bias dengan Banana Yoshimoto, dan juga saya--baru-baru saja--menjadi bias dengan J.D. Salinger dan The Catcher in The Rye-nya. Aliran seperti ini selalu sukses membuat saya membiarkan diri saya terhanyut oleh aliran kisahnya tanpa perlu mempertanyakan banyak hal, membuat saya sayang menghabiskan kisahnya (makanya saya masih belum menamatkan membaca Proust hingga sekarang).
Si Aku adalah tokoh perempuan urban yang belum juga menikah hingga usianya mencapai kepala empat. Dia tetap menyimpan cintanya pada Tuan Alien, teman masa kecilnya saat di Bima dulu. Mereka, dulu, selalu merasa bahwa mereka adalah alien yang terasing di bumi ini. Dan bahkan setelah Tuan Alien akhirnya berhasil beradaptasi dengan bumi, si Aku tetap tersesat dalam kehidupannya sendiri. Hubungan dengan keluarganya terasa jauh, kecuali dengan sang ayah yang sayangnya meninggal di usia cukup muda. Begitu juga hubungannya dengan teman-teman sekantornya dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Novel ini berkisah tentang alienasi jiwa dari kehidupannya, sebuah konsep yang kerap dihubungkan dengan Hindu dan Buddha, dan juga kemudian dibahas juga oleh filsuf sejaman Marx. Bagi saya, sebagai implementasi dari alienasi tersebut, novel ini sudah menang besar di mata saya. Tanpa perlu mengutip dan bergaya menceramahi, novel ini telah berhasil membuat saya memahami bagaimana terasingnya sesungguhnya manusia dari kehidupannya sendiri.
Mungkin bagi beberapa orang novel ini akan membosankan karena seolah tidak memiliki plot yang jelas. Bagi orang-orang yang terbiasa--dan menyukai--kisah-kisah yang memiliki pola awal-ketegangan-klimaks-penutupan dengan konflik cerita yang jelas, tentu novel ini akan langsung gagal di mata mereka. Namun sebenarnya konflik dari novel ini adalah tentang pergulatan pemikiran dari si tokoh Aku ini sendiri, dan juga tentang siklus kehidupannya yang seolah bergolak di dasar danau yang tenang. Saya mendengar beberapa komentar yang menyatakan ketidakfokusan cerita, padahal sebenarnya fokus utama dari cerita ini adalah siklus kehidupan dari si tokoh Aku itu sendiri.
Dengan memperhatikan setiap ceritanya, kita akan dapat menemukan perubahan paradigma dari si tokoh Aku sedikit demi sedikit. Dari dirinya yang sangat pemberontak dan kritis mempertanyakan segala hal dengan sikap pesimis, perlahan mulai menyadari keberadaan orang-orang yang menyayanginya di sekitarnya, dan akhirnya lama-kelamaan mulai berhenti protes akan kehidupannya dan menerima segala yang terjadi padanya dengan sikap positif. Saya sangat menyukai bagaimana di awal-awal surat dari si Aku selalu terkesan marah dan penuh pergulatan, lalu lama-lama makin melembut dan berubah melankolis di akhir; menandakan siklus hidupnya yang mulai menurun dan akhirnya perlahan mulai menerima dunia di sekitarnya.
"Waktu mengubah pemahaman seseorang akan dunia. Waktu tak mengubah pemahamanku tentangmu." - hal. 209
Lalu, siapa yang bilang novel ini tidak konsisten dan tidak fokus? Sejak awal novel ini memang dimulai dari Tuan Alien, dan diakhiri oleh Tuan Alien juga. Di saat semua pandangan tokoh Aku akan dunia berubah, hanya cintanya pada Tuan Alien yang tetap sama. Ini adalah sebuah bentuk konsistensi yang sepertinya luput dipahami oleh banyak orang.
Memang, saya akui, novel ini tidak bisa dibaca secara cepat. Orang-orang yang membacanya dengan cepat hanya akan mampu menangkap aliran kehidupan si Aku yang seolah datar-datar saja. Coba baca satu surat dan tutup bukunya, lalu biarkan mengendap sejenak, baru kemudian lanjutkan. Baca setiap kalimat dengan perlahan dan hayati, maka pergolakan yang sesungguhnya akan bisa dirasakan dari dasar kedataran surat-surat yang teralienasi ini.
Sebuah buku yang akan saya simpan dan sudi saya baca hingga berulang kali. Lima bintang.
Comments
Post a Comment